Selasa, 20 September 2011

Di Bawah Lindungan Ka'bah

 
Bismillahirrohmaanirrohiim…

Assalamu’alaikum….

Sekali-sekali pengen nulis yang bukan kisah kedokteran yaaa. Hehe…nggak papa deh, soalnya lama-lama boring juga kan kalau cerita tentang dunia FK terus. Kali ini nih, aku pengen nulis tentang sebuah film yang barusan aku tonton. Ceritanya gini, kemarin Ahad tanggal 11 September 2011, setelah datang ke acara walimahan sepupuku, aku, Mama, dek Acha, dan dek Ufa mencoba buat nonton film bareng di bioskop. Sekali-sekali refreshing gitu deh dari rutinitas sehari-hari yang padet dan melelahkan. Film yang kami tonton waktu itu judulnya “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”. Film ini adalah film yang diadaptasi dari novel terkenal zaman mama masih muda dulu, novelnya judulnya juga sama, DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH, karya Buya HAMKA.

                     Pas liat trailernya di TV, mama sempet tercetus pengen nonton ni film. Pengeeeen banget! Aku sih heran aja, kok tumben mama pengen banget nonton film. Nggak biasanya gitu lhooo. Ternyata, pas muda dulu mama pernah baca novel ini, jadi mama pengen liat novel ini kalo difilmkan hasilnya kaya apa. Akhirnya jadilah kami nonbar film ini. Aku sih niat awalnya Cuma mau nemenin mama aja ya, soalnya aku juga ga terlalu tertarik sama film ini (awalnya), dan lagi aku juga belum pernah baca novelnya jadi aku belum ada bayangan ceritanya kaya gimana. Tapi, oke deh mam, Mba ama jabanin nonton film ini demi mamaku tersayang…

Kami datang di bioskop udah telat sekitar lima belas menitan. Jadi, pas liat filmnya aku bener-bener masih bingung ni film ceritanya gimana tho, ini pas adegan apa tho, maksudnya dialog ini gimana tho, pokoknya banyak pertanyaan-pertanyaan berkecamuk di pikiranku. Aku bener-bener nggak menikmati ini film, tapi mama beda, mama bener-bener menghayati film ini, makanya tiap berapa menit pasti aku nanya mama.
“Ma, ini ceritanya gimana tho?”
            “Maksudnya gimana Ma?”
            “Tokohnya siapa aja Ma? Konflik ceritanya apa?”
Dan seterusnya…
                     Sampai setengah jam kemudian, aku akhirnya mulai bisa menikmati dan memahami maksud cerita film ini, aku mulai ngerti tokohnya sapa aja, mulai ngerti alur ceritanya, mulai ngerti konflik-konflik antarpemainnya, mulai ngerti hikmah di balik cerita ini, bahkan aku sampe sempet nangis-nangis bombai juga akhirnya…hehehe.
                     Sebenernya film ini tu simpel ceritanya. Konfliknya juga nggak banyak, dalam arti konflik-konflik yang terjalin itu lebih ke konflik batin, bukan konflik lahir. Jadi, pemainnya harus keliatan memendam masalah atau menyimpan perasaan lewat sorotan matanya, bukan semata-mata dari dialognya. Kalau menurut penilaianku sih, acting dari pemain-pemainnya lumayan dapet laaah…
                     Film ini tu menceritakan tentang hubungan dua anak manusia yang sudah terjalin sejak kecil. Adalah Hamid dan Zainab, yang sebenernya saling mencintai dan memendam perasaan satu sama lain, cuma terpisah sama derajat dan status sosial (masalah yang sangat klise dan pasaran tapi tetep aja jadi konflik yang nggak lekang oleh waktu). Hampir mirip-miriplah sama kisah Romeo dan Juliet-nya Shakespeare atau Qais dan Laila di Laila Majnun atau Samsul Bahri dan Siti Nurbaya pas zaman dulu. Intinya sih kisah kasih yang tak sampai gitu deh. Cuma, balutan hikmah di film ini lumayan banyak menurutku. Apalagi ini novel religi.
                     Nah, ceritanya Hamid itu pemuda yang baik, alim, dan sholeh (cakep juga, hehe). Dia adalah anak dari pembantu keluarganya Zainab. Kalau Zainab sendiri udah jelas, pastilah gadis yang cantik, baik hati, dan sholehah juga.  Sebenernya mereka itu udah saling suka dari kecil. Cuma mereka terpisah oleh jarak karena Hamid harus sekolah di Jawa (latar belakang film ini adalah daerah sumatera barat). Nah, pas di terpisah jarak Sumatera-Jawa itu mereka masih saling kabar satu sama lain lewat surat. Akhirnya, setelah menempuh pendidikan, Hamid pun pulang kembali ke kampung halamannya dan kembali ketemu Zainab.
                   
 Selain saling menyukai, Hamid dan Zainab sebenarnya juga bersahabat. Mereka sering berdiskusi dan saling bercerita tentang impian masing-masing. Impian Hamid, dia ingin sekali naik haji ke tanah suci, dan sebenarnya ada sebersit keinginan di lubuk hati Hamid yang terdalam untuk bisa menyunting Zainab sebagai istrinya, tapi ia realistis kalau itu ibarat punguk merindukan bulan, mengingat status sosial mereka jelas jauh beda.
                     Zainab, seperti halnya Hamid. Ia juga punya mimpi, cuma impiannya lebih sederhana. Tapi menurut aku, yang juga sama-sama wanita, impian Zainab itu bener-bener dalem banget maksudnya. Zainab ingin dia menikah dengan orang yang ia cintai dan orang tersebut mencintainya juga (sebenernya nyindir si Hamidnya sih, kadang aku gemes aja sama Hamid, habis dia agak kurang peka aja gitu sama perasaannya Zainab, aku jadi heran apa semua laki-laki emang gitu ya??? Entahlah…)
                     Nah, akhirnya di suatu sore terjadilah insiden yang mulai menunjukkan tanda-tanda mulai klimaksnya film ini. Ceritanya, di kampung Hamid dan Zainab waktu itu mau ada lomba debat antara tim Hamid dan tim sapa gitu (aku lupa, he..). Zainab waktu itu pengen nonton, Cuma dia dikasih tugas ayahnya buat ngurus masalah pembukuan bisnis ayahnya. Jadilah, si Zainab dilema, antara ngerjain tugas atau ngeliat Hamid maju lomba. Akhirnya, Zainab tetep ngerjain tugas dari sang ayah dulu (dengan semaksimal mungkin dan secepat mungkin) trus dia langsung mengendarai sepedanya, meluncur ke surau, buat menyemangati sang pujaan hati yang lagi maju lomba.
                     Tiba-tiba, di tengah jalan, Zainab nggak liat kalau jalan ke surau itu ada jembatan yang rusak. Jadilah Zainab dan sepedanya nyebur ke sungai, dan parahnya Zainab nggak bisa renang, ia tenggelam! Semua orang geger. Lomba di surau pun terhenti karena huru-hara itu. Setelah tahu sang korban adalah Zainab, dengan refleksnya yang supercepat, Hamid langsung nyebur ke sungai untuk menyelamatkan gadis yang ia sukai. Akhirnya Zainab berhasil diselamatkan, tapi Zainab mengalami asfiksia alias henti napas gara-gara tenggelam. Semua orang bingung gimana nolongnya. Akhirnya, Hamid dengan sigap langsung melakukan bantuan nafas buatan dan Alhamdulillah Zainab berhasil batuk-batuk terus sadar.
                     Masalah mulai sampai ke peak-nya. Warga sekampung dan beberapa penghulu ternyata nggak semuanya setuju sama tindakan Hamid yang melakukan nafas buatan ke Zainab. Buat mereka, itu adalah tindakan asusila, nggak pantes, amoral, dan sebagainya. Padahal udah jelas, Hamid melakukannya karena kondisi darurat, lebih ke faktor kemanusiaan demi menyelematkan nyawa. Lagian kita pasti juga harus mau nolong (meskipun itu nafas buatan sekalipun) kalau kita nemuin ada orang yang henti nafas. Iya nggak??? Tapi karena orang-orang di kampung itu pemikirannya masih konservatif dan kolot, maka Hamid akhirnya diusir dari kampung itu sebagai hukuman atas perbuatannya.

                     Nah, yang bikin aku nangis…ngis…ngis..bener nangis sesenggukan ya pas adegan Hamid diusir ini, soalnya si Hamid itu bisa tetep ikhlas dan sabar banget menghadapi masalahnya, bahkan pas dia dimusuhi sama orang-orang sekampung, dia tetep senyum dan nggak marah. Subhanallah deh, kalau emang ada orang seperti Hamid di dunia nyata ini…
                     Selama bertahun-tahun Hamid hidup dalam pengasingan itu. Ia jelas pisah dari ibunya yang janda, ia jelas pisah dari tempat tinggalnya, ia jelas pisah dari teman-teman di kampungnya, dan ia jelas pisah dari Zainab! Buat mengisi waktu, ia pun bekerja jadi kuli di stasiun, dan hebatnya, meski ia dicoba dengan ujian yang begitu berat, Hamid tetep beribadah sama Allah dengan ikhlas dan istiqomah, padahal banyak orang yang ketika dia diuji ia justru mangkir dari mendekat pada Allah lho yaaa.
                     Nah, konflik muncul lagi. Ibunya si Hamid sakit. Hamid pun nggak sampai hati meninggalkan ibunya sendirian saja. Akhirnya Hamid minta izin sama warga kampung buat ngerawat ibunya, eh ternyata ibunya Hamid memang tidak berumur panjang. Ibu Hamid pun akhirnya meninggal dunia. Ini bener-bener ujian berat buat Hamid dan –hebatnya- dia tetep bisa sabar dan ikhlas meskipun –istilah kasarannya ya- dia udah “dibanting” sama Allah dengan ujian yang sebegitu rupa.
                     Belum selesai berduka cita, Hamid dapet masalah baru lagi. Kali ini masalahnya dari sisi Zainab. Setelah ayahnya Zainab meninggal dalam perjalanan naik haji, Zainab mau dijodohkan sama pemuda namanya Zulkifli yang konon lebih tinggi status sosialnya daripada seorang Hamid yang kuli angkut. Tapi Zainab nggak mau nikah sama Zulkifli. Dia menolak perjodohan itu. Zainab hanya menyukai satu lelaki dan orang itu adalah Hamid.
                     Nah, beratnya adalah ketika ibu Zainab meminta Hamid yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri dan dianggap sebagai satu-satunya orang yang omongannya bakal didengar sama Zainab, untuk membujuk Zainab biar mau nikah sama Zulkifli. Oh my God!!!! Coba deh kamu bayangin, kamu suka sama cewek ato cowok, terus kamu malah dimintai tolong sama orang tua cewek atau cowok itu untuk menjodohkan orang yang kamu sukai itu dengan orang lain. Gimana nggak makan ati tu ceritanya???!!! Tapi Hamid tetep mencoba menahan gejolak hatinya sendiri, ia berusaha melawan nafsu yang mampir di hatinya, ia memang suka sama Zainab dan ingin menikahinya, tapi dia juga ingin Zainab bahagia dan menurut Hamid perjodohan Zainab dan Zulkifli itu adalah salah satu cara supaya Zainab bahagia. Apalagi, Hamid hanyalah punguk dan Zainab adalah bulannya. Status sosial mereka berkilo-kilo meter jaraknya. Hanya aja, Zainab kan dari dulu udah bilang, dia hanya mau menikah dengan orang yang ia cintai dan orang tersebut mencintainya juga. So, emang susah deh dijelasin, cuma buat aku pribadi, ini perang batin yang nggak ringan juga lhoooo…
                     Nah, gimana ending kisah ini selanjutnya? Happy ato sad ending kah? Silakan nonton sendiri aja yaaaa..hehehe…aku Cuma mau nulis beberapa pelajaran yang bisa aku ambil dari film ini…intinya sih, hampir semua dialognya tu (menurutku) penuh dengan pembelajaran hidup..
1.      Salah satu tanggung jawab orang tua kepada anak adalah mencarikan jodoh. Nah, memilih jodoh buat anak ini bukan perkara yang mudah memang, harus nimbang bibit, bobot, dan bebetnya. Cuma, Rasulullah pun udah memberikan pelajaran tentang memilih jodoh ini. Salah satu indikator utama dalam memilih pasangan hidup adalah AGAMAnya. Itu adalah hal yang mesti diutamakan. Jadi bukan dari pekerjaannya, bukan dari ketampanannya, bukan dari status sosialnya, bukan pula dari kekayaannya. Nah, selain agama, salah satu hal yang juga perlu diperhatikan dalam memilih jodoh ini adalah perasaan cinta.
Oke, Cinta emang bukan hal yang urgent sih, ia memang bisa ditumbuhkan, ia bisa dibiasakan, tapi tetep cinta juga diperlukan dalam menjalin sebuah hubungan pernikahan. Ibarat menanam tanaman, cinta adalah pupuknya, ia memang tidak selalu harus ada, karena tanpa pupuk tanaman itu bisa tetap tumbuh, hanya saja, kalau ada pupuk pasti tanaman itu lebih subur dan buahnya lebih melimpah. Iya nggak??? Iya dong!!! Jadi, alangkah lebih bijaksana jika melihat kasus Hamid dan Zainab di atas, mestinya orang tua Zainab juga tetep melihat kecenderungan hati anaknya itu kemana. Hamid sholeh, alim, dan sopan. Agamanya baik. Apalagi mereka berdua saling suka, mestinya kan bisa dinikahkan aja, akhirnya cinta mereka kan bisa berlabuh dan hidup bahagia. Iya nggak??? Iya dong!!! Hehehehe
2.      Pas waktu adegan ibu Hamid meninggal, aku nangis agak kenceng (jujur, he..). Selain adegannya mengharukan, aku juga nangkep banyak banget pelajaran hidup dari dialog ibu-anak itu menjelang sakaratul maut. Jadi, sebelum meninggal, Ibu Hamid sempat berwasiat, dia sempat mengeluarkan segepok emas di sapu tangannya. Emas-emas itu adalah hasil kerja keras dan kristalisasi keringatnya yang udah kerja jadi pembantu selama bertahun-tahun. Dia menyerahkan emas itu kepada Hamid, anaknya, sebagai bekal untuk hidup Hamid. Dia juga berpesan bahwa rumah mereka yang di kampung itu juga untuk Hamid.
Nah, disinilah aku belajar, sebisa mungkin, ketika kita jadi orang tua nanti, jadilah orang tua yang bertanggung jawab. Bentuk tanggung jawab itu salah satunya adalah : jangan meninggalkan anak-anak atau keturunan kita dalam kondisi miskin atau nggak punya apa-apa. Sebisa mungkin, berilah bekal pada mereka. Kalaupun kita tidak kaya, tidak punya permata, mobil pun tak ada, dan rumah hanya seadanya, paling tidak, kita tetap meninggalkan sesuatu untuk anak-anak kita kelak. Bekal itu nggak harus dalam bentuk harta. Ilmu, bisa jadi adalah salah satu bekal itu. Bahkan ilmu jauh lebih utama dibanding harta. Seperti ibu hamid yang kerja keras jadi pembantu buat nyekolahin anaknya sampai ke Jawa. Itu juga bentuk tanggung jawab lho. Aku jadi  inget kata mama padaku beberapa waktu lalu. Begini kata mama :
“Mbak Ama, mama memang tidak memiliki harta yang banyak untuk ninggalin Mbak Ama. Tapi Mama ninggalin Mbak Ama itu ilmu, caranya dengan menyekolahkan Mbak Ama di kedokteran seperti sekarang. Tujuan mama Cuma satu, biar ketika Mbak Ama jadi dokter nanti, Mbak Ama udah punya cangkul sendiri untuk menata dan mengatur hidup Mbak Ama di masa depan nanti. Biar nggak selamanya bergantung dan minta-minta sama suami, biar Mbak Ama bisa tetep mandiri kalau ada apa-apa, dan biar Mbak Ama juga tetep bisa meninggalkan sesuatu untuk anak-anak Mbak Ama nanti….”
Subhanallah, gimana nggak nangis coba ndenger mama ngomong kaya gini. Pokoknya, aku Cuma bisa bilang mamaku hebaaaaaatttt sekali. Ya Allah…Semoga aku bisa jadi orang tua yang baik untuk anak-anakku kelak seperti halnya mama jadi orang tua yang baik untukku..Aamiin…
3.      Pelajaran ketiga, aku banyak belajar dari ketabahan, kesabaran, dan keikhlasan seorang Hamid. Ibarat kata, meski dia “dibanting” Allah dengan ujian yang bertubi-tubi, dia tetep bisa nerima dan bahkan ibadahnya makin baik aja. Selain itu, tauhid si tokoh Hamid kepada Allah di film ini bener-bener harus kita contoh. Dia bener-bener yakin sama Allah, seyakin-yakinnya. Dia bener-bener berprasangka baik sama Allah, sepositif-positifnya. Ada kata-kata bagus di film ini yang sampai sekarang jadi kata-kata favoritku dan aku tulis di blog-ku ini juga. Ya nggak ngeplek banget sih sama di film, ada kata-kata yang aku ubah dikit biar diksinya lebih manis, tapi tetep intisarinya sama.

Jika engkau merasa sendiri, tanpa seorangpun yang bisa kau jadikan tempat berbagi, ketahuilah, bahwa sebenarnya engkau tak sendiri, karena ada Allah Subhanahu wata'ala yang selalu ada untukmu...

Alhamdulillah sampai juga di penghujung tulisan. Penilaianku sama film ini pokoknya two tumbs up deh. Mungkin kalian perlu nonton juga kalau ada waktu, insyaAllah pelajaran hidup di film ini banyaaak banget (apalagi untuk aku pribadi). Intinya, ni film recommended !!!

1 komentar:

  1. assalamu'alaikum,,salam kenal,,abis baca review ini saya jadi pengen nonton film nya,,,hehe :D

    BalasHapus