Sabtu, 17 September 2011

Interna...Oh...Interna


Bismillaahirrohmaanirrohiim

Assalamu’alaikum. Ketemu lagi deh, he..he..Moga2 nggak bosen ya baca tulisan-tulisanku. Nah, di postinganku kali ini aku mau menceritakan tentang pengalamanku di stase kedua saat kepaniteraan klinik di sebuah RS negeri di Kota Solo yang damai dan tenang ini. Setelah stase bedah berlalu, namaku dan beberapa teman-teman yang sekelompok denganku akhirnya tercatat sebagai coass ilmu penyakit dalam atau bahasa kerennya sih, INTERNA.
Stase ini juga termasuk stase besar, jadi waktu belajarnya lumayan lama, yaitu 8 minggu. Cuma, ada perbedaan yang cukup signifikan antara stase bedah dengan stase interna yang aku alami kemarin. Selain dari segi ilmu yang dipelajari berbeda, stressor yang dihadapi, tugas yang harus dikerjakan, dan aktivitas tiap harinya juga bedaaaaaa banget. Yang jelas, pas masuk interna awal-awal, aku banyak-banyak adaptasi deh!
 Salah satu beda interna dengan bedah pas zamanku kemarin adalah, di interna nggak ada pembagian sub-sub stase seperti halnya bedah. Sebenarnya cukup disayangkan sih (menurutku), soalnya ilmu di penyakit dalam itu banyaaaaak banget, dan alangkah lebih efektifnya jika penyakit yang bejibun jumlahnya itu dibagi dalam masing-masing sub, seperti sub hemato, sub kardio, sub reumato, dll, jadi kan belajarnya lebih enak dan sistematis. Tapi itu kembali ke kebijakan masing-masing SMF / bagian juga, kita sebagai coass sih hanya bisa menjalani dan belajar dengan sebaik-baiknya.
Untuk di interna sendiri, pembagiannya tiap minggu berdasarkan pada urutan bangsal, poli, dan laboratorium, oh iya..ada juga stase luar di RS Boyolali, cuma, waktu itu aku termasuk yang nggak dapet boyolali. Sebenernya aku pengen lho, soalnya kalau stase luar gitu coassnya bener-bener dilepas untuk merawat dan mengobati pasien (di bawah pengawasan staff tentunya), dan enaknya, coass yang dapat stase luar langsung dibimbing sama staff di RS itu. Tapi aku percaya, pasti ada hikmah kenapa aku nggak dapet stase luar, salah duanya, aku bisa ngejar syarat kasus kecil tepat waktu dan nggak kepontal-pontal, dan alasan lainnya (ini kelemahanku sih) aku bukan tipe orang yang betah lama-lama tinggal di luar rumah apalagi di tempat baru, soalnya aku homesick-an orangnya, he..he..(ini nggak perlu dicontoh ;p). Nah, mau tahu kisahku di interna seperti apa? Yuk..lanjut bacanya..
Hari pertama masuk interna, jujur, aku kaget sekaligus seneng. Soalnya masuknya jam 8 dan itu belum ngapa-ngapain. Cuma dibagiin logbook, bimbingan sama salah satu staff, habis itu pulaaaangggg….duh, happy banget deh bisa pulang pagi, jarang-jarang coass (apalagi stase besar) bisa pulang di bawah jam 12, dan asyiknya lagi “saat-saat kebebasan” itu berlangsung sampai hari-hari berikutnya di minggu pertama.

Nah, masuk ke minggu kedua, saatnya mengucapkan good bye sama yang namanya pulang pagi. Maklum aja, mulai minggu kedua ini, aku udah mulai sibuk sama yang namanya ngejar syarat buat ujian. Di interna ada syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya kita bisa ujian. Syaratnya itu ada lima kasus kecil, satu refrat, dan satu kasus besar. Untuk kasus kecil itu, aku ngerjain sendirian soalnya emang tugas individu, jadi ceritanya kita bikin laporan kasus dari pasien yang kita ajuin ke staff dan staff udah ACC kasus itu, nah habis itu kita bikin laporannya, terus setelah jadi mentahnya kita konsulin dulu ke residen. Nah, kadang di residen ini butuh waktu lebih dari sekali buat revisian, kalau udah fix, baru deh kita maju ke staff dan siap buat ditanya-tanya. Mantep kan?! Di sinilah ada istilah interna menang otak dibanding otot, soalnya kepala kita emang kudu berisi dulu sebelum maju ke staff, biar kalo kita ditanya-tanya kita nggak ngah-ngoh gitu deh, intinya sih MUSTI BELAJAR !!!!
Untuk refrat dan kasus besar dikerjainnya kelompok, jadi lebih enak, cuma ya itu, harus diujikan di depan staff dan di depan temen2 coass yang lain, so kudu siap-siap dengan pertanyaan yang banyak. Teteeeuup, prinsipnya di interna itu belajar…belajar…dan terus belajar..hehe. Tapi, justru itu yang aku suka dari interna. Atmosfir yang ada si stase ini beda banget sama pas di bedah. Kalau di bedah dulu coass lebih banyak diam dan nurut sama apa yang harus mereka pelajari. Tinggal terima aja pokoknya. Kalau di interna, prinsip kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan mengkritisi suatu keputusan medis, itu hal yang lumrah dan wajar, bahkan malah cenderung diharuskan! So, rasanya kaya balik ke pas zaman kuliah dulu, ketemu tutorial, saling bertanya, saling mengkritisi, dan kembali berdiskusi. Like this deh! d^^b
Di interna aku belajar banyak kasus, terutama kasus yang sering ditemui oleh dokter umum, semisal diabetes mellitus, hipertensi, PPOK, asma, gagal jantung, gagal ginjal, PJK, sirosis hepatis, hiperlipidemia, anemia, demam tifoid, ISK, dll, juga kasus-kasus yang jarang bisa ditemuin kaya HIV/AIDS, SLE, hepatoma, leukemia, dll. Di sini aku bener-bener nemuin pasien-pasien secara langsung, anamnesis mereka, pemeriksaan fisik ke mereka, dan mencoba memahami hasil pemeriksaan penunjang yang sudah mereka lakukan. Belum lagi aktivitasku sama temen-temen tiap pagi adalah follow up pasien meliputi vital sign dan SOAP lewat metode POMR (Problem Oriented Medical Record). Metode ini menurutku lumayan sistematis dan efektif untuk follow up pasien, soalnya tiap hari kita perlu menggali keluhan pasien dan melihat hasil pemeriksaan penunjangnya, jadi assessment atau diagnosisnya bisa aja berubah, intinya metode ini dibuat supaya tidak ada keluhan atau masalah pasien yang terlewat untuk ditatalaksana. 

Aku juga bersyukur, di interna ini aku dapat partner yang sangat membantu aku belajar. Ada Ucha yang pinter dan jago pemeriksaan fisik dan ada Dita yang rajin belajar dan kemampuan analisisnya sangat bagus. Ada cerita unik nih!. Ceritanya, waktu itu aku lagi ngerjain kasus kecil pertamaku, kebetulan aku dapet pasien dengan candidiasis oral dan ada batuk berdahak lebih dari empat bulan. Sekilas lihat keluhan pasien dan lihat kondisi pasiennya, aku udah curiga, jangan-jangan ini pasien B24 atau B20. Akhirnya setelah aku lihat statusnya, eh iya! Dia positif B24, soalnya dia belum sempat ditest rapid test untuk HIV, jadi B20 nya belum tegak.
Permasalahan terjadi ketika aku, Ucha, dan Dita pengen menganamnesis pasien tersebut berkaitan dengan riwayat gimana dia bisa tertular virus mematikan tersebut. Logika kami waktu itu, ada tiga kemungkinan penularan HIV. Satu, lewat hubungan seksual. Dua, lewat kontak darah, entah itu jarum suntik, penggunaan narkoba, atau bisa aja transfusi, riwayat pakai tato, dll. Tiga, penularan vertikal dari ibu ke anak (yang ketiga ini jelas nggak mungkin, soalnya pasiennya cowok dan dia nggak mungkin mengidap HIV dari bayi masih hidup aja sampe sekarang, makanya kami eliminasi sejak awal).
Dan ternyata oh ternyata, pasien itu juga nggak ada riwayat kontak dengan yang namanya jarum suntik, saudara-saudara….Jadi, jelas! Tinggal hubungan seksual lah transmitternya. Nah, masalah baru muncul lagi. Gimana caranya, menganamnesis pasien biar dia cerita kalau dia pernah “jajan”, itu yang susah! Apalagi pasiennya agak nggak kooperatif waktu itu. Dia sangat sensitif dan cenderung menyangkal. Kita yang mau anamnesis jadi bingung sendiri. Duh gimana neeee….!!!
Akhirnya sang penolong datang juga. Ada salah satu residen interna yang waktu itu mengurusi bangsal yang sama dengan kami. Kami pun minta tolong sama residen itu buat diajarin cara anamnesis pasien untuk cerita pernah nggak dia “jajan”. Akhirnya sang residen pun menyanggupi dan dia mulai beraksi. Awalnya residen itu ngajak si pasien salaman terus minta izin dulu baik-baik. Terus dia mulai tanya-tanya dengan jurus anamnesis mautnya. Dan tiba-tiba pasien bisa keluar ceritanya. Wow!! Ternyata pasien itu pernah tinggal di Irian buat jualan sepatu setelah ditinggal mati istrinya, akhirnya ia pun merantau, dan di pulau rantauan itu ia kadang-kadang “jajan” sama beberapa wanita PSK di sana. Jadilah ia tertular penyakit itu.

Pelajaran yang bisa aku ambil dari kisah ini : ternyata jadi dokter itu bukan hanya membutuhkan obat dan pisau bedah, tapi dokter juga dan sangat butuh yang namanya kata-kata. Gimana ia menarik perhatian dan kepercayaan pasien, gimana ia menjalin hubungan sambung rasa dengan pasien, gimana ia berempati tanpa bersimpati pada pasien, gimana ia bisa menggali sebuah petunjuk dari ribuan cerita dan keluhan pasien untuk menegakkan diagnosis, di situlah! Di situlah, peran seorang dokter sebenarnya berawal. Dan dari residen itu aku belajar. Makasih dok, ilmunya J
Sebenernya banyak banget kisah di interna yang ingin aku tulis. Tapi ntar nggak habis-habis dong ya. Pokoknya interna teh seru pisan, euy! Apalagi pas minggu terakhir sebelum ujian, wuihhh!!! Gempor kaki kami, saudara-saudara! Kok bisa? Ya iyalah! Bisa dibilang minggu ketujuh itu minggu hidup dan mati (buat ngejar syarat). Tiap hari kegiatannya selain follow up adalah menunggu, mencari, dan mengejar staff.
Nah, jadi pengen cerita lagi nih! Ehehe..nggak papa ya :P
Ceritanya waktu itu mau cari staff buat maju kasus kecil, sebenernya aku sama temen-temen yang sekelompok sama aku udah maju sih, cuma kurang ngumpulin PR dan minta tanda tangan staffnya aja, tapi ternyata banyak temen-temen lain yang juga butuh tanda tangan staff itu, ya senior, ya junior, hari itu kayaknya semuanya pada kompakan nyari sang dosen tersebut. Beliau ceritanya lagi jadi satu-satunya orang yang most-wanted buat coass-coass interna. Hampir semua coass dilibatkan untuk standby di tempat-tempat yang kira-kira dokter itu sering mangkal. Ada yang nunggu di ruang hemodialisa (HD), ada yang nunggu di anggrek 4, ada yang nunggu di poli cendana, ada yang nunggu di poli interna, semuanya gerilya, berjaga-jaga! Tiba-tiba sebuah jarkom berbunyi yang mengabarkan sang dokter ada di ruang HD S-E-K-A-R-A-N-G! Jadilah, puluhan coass interna berduyun-duyun ke ruang HD, tapi ternyata penonton kecewa! Sang dokter –entah lewat pintu mana dan berjalan dengan sangat cepat mungkin saja-- tiba-tiba keluar dari ruang HD meninggalkan puluhan coass yang menanti untuk minta tanda tangannya (dah kaya artis dikerjar fans dan paparazzi aja, hehe). Akhirnya pengejaran pun di mulai. Alhamdulillahnya, ada salah satu dari kami yang sempat melihat sang dokter berjalan ke arah bangsal Melati, kamipun memutuskan untuk mengikuti, tentunya dibatasi jarak sekitar 10 meter di belakangnya. Dah kaya detektif gitu deh! Haha.
Eh, ternyata sang dokter naik tangga, naik terus sampai ke bangsal cendana. Kamipun masih dengan setia di belakangnya. Dokter itu visit dan kami menunggu. Lalu sang dokter melanjutkan perjalanannya ke bangsal anggrek dan kami pun kebat-kebit mengejarnya. Kalau inget kejadian itu aku pengen ketawa. Soalnya hampir semua orang yang ngeliat kami pada heran. Pemandangannya emang lucu banget sih! Sampai-sampai ada komentar :”busett…dokter X ekornya panjang banget” gara-gara ngeliat satu dokter diikuti oleh puluhan coass yang semuanya berderet nyaris dari bangsal anggrek sampai cendana. Yang kalo mau ngukurin pake meteran (kurang kerjaan banget ya, hehe), itu benar-benar panjang ekornya. Hehe.

Yahhh…Alhamdulillah. Itulah interna yang berkesan. Aku bersyukur bisa menjadi bagian dari kisah interna saat itu. Semoga aku bisa mengambil hikmah dan ibrah dari setiap aktivitasku. Yang baik monggo diambil, yang jelek monggo dibuang. Sampai ketemu di tulisanku berikutnya. Ditunggu yaaahhh ^___^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar