Minggu, 25 September 2011

Let's Talk About Soulmate

Bismillahirrohmaanirrohiim

-catatan redaksi
Habis lebaran ini banyak ya temen2 yang nikah, subhanallah....keren deh mereka...berani mengambil keputusan buat nikah muda...kamu mupeng ya Am??? dikit sih, tapi aku realistis aja, aku masih belum dewasa untuk berganti status dari anak mama jadi istri orang...tapi nggak ada salahnya kan kalau aku mulai belajar...nyicil-nyicil baca-baca buku begituan (tentang nikah)...Nah, aku pengen re-post tulisanku di blogku yang lama..tentang masalah jodoh..hehe..jadi malu ni nulis ginian, tapi nggak papa deh ya, itung2 belajar...halaaah...yuk simak tulisan di bawah ini...Let's talk about soulmate ^__^)


Jujur saja, bicara masalah seperti ini selalu saja membuat rasa penasaran saya muncul. Memang, jodoh itu adalah rahasia Alloh. Kita tidak tahu siapa yang bakal menjadi jodoh kita. Tapi sewaktu kita masih dalam kandungan ibu, Alloh sebetulnya sudah memberitahukan masalah umur kita, rezeki kita, dan jodoh kita nanti siapa.
Ketika SMA dulu saya pernah ikut kajian yang kebetulan temanya masalah “cinta” begitu. Saat itu pertanyaan yang diajukan teman-teman kepada ustadz masih sebatas dalam urusan cinta anak remaja, seperti:
“Ustadz, pacaran itu boleh gak?”
“Ustadz, boncengan sama temen cewek yang bukan mahram itu boleh gak?
“Lha terus gimana dong kalo kita suka sama seseorang?”
Dan banyak pertanyaan cinta ala abege sejenis itu. Namun, entah mengapa saya memberanikan diri untuk bertanya masalah yang lebih dari sekedar urusan romansa cinta anak SMA. Saya ingat betul, waktu itu saya bertanya lewat secarik kertas dan tanpa identitas. Pertanyaan saya,
“Ustadz, bagaimana kita bisa tahu bahwa seseorang itu adalah jodoh kita?”
Agak lama ustadz diam. Mungkin kaget kali ya, anak SMA kok udah nanya urusan begituan, hehe. Tapi tak lama kemudian, ustadz menjawab.
“Ketika kita sudah melakukan ijab qobul dengan seseorang, maka pada saat itulah kita tahu bahwa orang tersebut adalah jodoh kita”, begitulah ustadz menjawab.
Jeng..Jeng..jawaban yang bagus. Tapi, waktu itu cuma saya telan mentah-mentah saja. Maklum, masih SMA. Belum berpikir terlalu jauh sampai ke situ. Istilahnya, mikir pelajaran aja udah puyeng apalagi mau mikir sampai pernikahan.
Tetapi…
Kasusnya beda kalau sekarang. Sekarang saya bukan lagi anak SMA, saya sudah jadi mahasiswa gitu lho. Mau tidak mau, suka tidak suka, nyampe gak nyampe, emang udah harus mikir masalah begituan (baca: pernikahan).
Kembali ke masalah jodoh. Tak bisa dipungkiri bahwa jodoh itu adalah hak prerogatif Alloh. Saya sangat suka kalau ada pasangan suami-istri yang bercerita tentang kisah bagaimana mereka bisa bertemu dengan pasangannya. Mungkin anda perlu coba. Awalnya memang aneh, secara, hal itu adalah urusan pribadi masing-masing pasangan. Tapi kemudian, anda akan menemukan banyak sekali pelajaran, kisah, romantisme, dan keunikan dari cerita-cerita mereka. Apalagi, kadang mereka bercerita sambil malu-malu, senyum-senyum, dan jujur saja itu bisa membantu mencairkan suasana antara suami isteri tersebut. Selain itu, acara wawancara ini juga bisa merekatkan silaturrahim antara kita sebagai reporter dan mereka sebagai narasumber. Dan inilah beberapa kisah yang saya temui.

Cinta Pada Pandangan Pertama
            Urusan cinta yang bermula dari sini banyak sekali kasusnya. Gak usah jauh-jauh, contoh realnya sih orang tua saya sendiri. Kata almarhum ayah saya sih, dulu bisa suka sama mama saya gara-gara pernah ketemu di masjid agung Solo. Eh ternyata setelah ditelusuri, rumah kontrakan mama saya waktu SMA sebelahan sama kost-kostan ayah saya waktu kuliah.
            Pernah suatu saat, saya tanya ke ayah saya almarhum. “Bapak, apa sih yang membuat bapak begitu mantap untuk mempersunting mama sebagai istri?
            Ayah saya bilang, “Waktu bapak lihat mama pertama kali, feeling bapak berkata, Inilah dia, wanita yang nantinya pantas menjadi ibu dari anak-anakku”….Huaa, so sweet deh. Saya jadi pingin. Hehe. Dan akhirnya…lahirlah seseorang yang menulis artikel ini, hehe.

Kesan Pertama Begitu Menggoda
            Kayak slogan iklan aja yaa, hehe. Cinta yang bermula dari sini juga cukup banyak. Ada sebuah kisah tentang seorang ikhwan yang menikah dengan seorang akhwat. Waktu ditanya kok bisa ketemu, si ikhwan menjawab. “Istri saya itu dulu adik kelas saya saat SMA. Dulu waktu kami SMA, istri saya itu pernah ada pelajaran olahraga basket. Saya amati, tiap dia dapat giliran masukin bola ke ring, selalu saja gagal. Lucu sekali wakti itu. Karena dia gak bisa-bisa masukin bola, saya jadi penasaran sekaligus terkesan. Akhirnya muncul keingintahuan saya pada gadis itu. Dan, akhirnya setelah perjuangan untuk mengenalnya lebih jauh, kami pun bisa menikah, dan itu tanpa pacaran. Alhamdulillah.  
            Ehm..ehm..ini juga so sweet. Kesan Pertama Begitu Menggoda, Selanjutnya Terserah Anda. Eittss…tapi terserah di sini harus ditindak lanjuti dengan cara yang benar dan sesuai syar’i, bukan terserah yang bebas dan seenak perut sendiri. Contoh tindak lanjut yang syar’i misalnya, datangi rumah si akhwat, temui orang tuanya, utarakan maksud untuk melamar, terus nikah, terus habis itu ya terserah, orang udah nikah, hehe.

Witing Tresno Jalaran Soko Kulino
            Aduh ini juga banyak kisahnya. Banyak pasangan yang akhirnya menikah dan setelah ditelusuri lebih jauh, mereka dulunya adalah sahabat. Ya mungkin karena sudah berteman lama dan bersahabat begitu akrab, jadi tidak ada kecanggungan lagi. Kedua belak pihak sudah saling mengenal karakter dan pribadi masing-masing. Hehe, saya jadi ingat guyonan-guyonan di kampus saya tercinta. Kebetulan saya kuliah di fakultas kedokteran, dan tahu sendirilah yang namanya kedokteran itu jadwalnya sibuk bukan main. Sampai-sampai untuk kenal dengan mahasiswa yang di luar fakultas amat jarang bisa dilakukan. Tiap hari orang-orang yang ditemui ya itu-itu saja. Makanya, banyak yang akhirnya menikah dengan teman-teman sesama fakultas. Akhirnya slogan “witing tresno jalaran soko kulino” sering diplesetkan menjadi “witing tresno jalaran ora ono sing liyo”, hehe. Ada-ada saja ni..

Lewat Seorang Teman
            Sebetulnya tidak hanya teman, bisa lewat orang tua, bisa lewat ustadz, dan wasilah-wasilah lain. Istilahnya kayak lewat mak comblang begitu. Bisa jadi nikah yang dijodohkan begini, awalnya si suami tak kenal dengan si istri dan si istri pun tak pernah tahu wajah si suami. Memang, cinta adalah perekat hubungan dan penting dalam sebuah pernikahan. Namun, pernikahan yang awalnya tiada saling kenal dan belum tumbuh benih-benih cinta di dalamnya, bisa saja bertahan dan tetap langgeng. Karena rasa cinta itu tumbuh setelah pernikahan. Ah, jadi ingat buku favorit saya, karyanya Salim A. Fillah yang judulnya Indahnya Pacaran Setelah Pernikahan. So, sweet. Hehe. Mungkin anda perlu baca juga..

            Kisah yang saya hadirkan ini memang baru beberapa dan belum mampu menjabarkan semua. Tapi ada satu hikmah yang bisa dipetik darinya. Bahwa jodoh itu rahasia Alloh. Bisa jadi jodoh kita adalah orang yang baru saja kita kenal, atau bisa jadi orang yang sudah lama kita kenal, bisa jadi jodoh kita rupanya teman sekelas kita, atau malah bisa jadi jodoh kita orang yang tinggal di belahan dunia lainnya, bisa jadi jodoh kita adalah orang yang kita jumpai di dunia maya, bisa jadi pula jodoh kita ternyata tetangga kita sendiri. Memang ya, urusan jodoh sangat misterius. Tapi satu hal yang pasti, setiap orang sudah Alloh tuliskan jodohnya masing-masing. Jodoh kita sudah ada, entah siapa dia dan dimana dia, itu yang sekarang masih samar.
            Saya selalu punya imajinasi sendiri tentang masalah jodoh ini, saya selalu membayangkan bahwa jodoh saya itu tersembunyi dalam sebuah kotak atau bersembunyi di balik tabir. Kotak itu sudah saya bawa dan tabir itu sudah berdiri di depan saya. Tapi, kotak itu saat ini belum bisa saya buka dan tabir itu belum bisa saya sibak. Karena memang belum waktunya. Namun, jika Alloh menghendaki saya untuk membuka kotak dan menyibak tirai tabir tersebut, saya akan melihat sebuah nama tertulis dalam kotak itu dan sesosok ikhwan berdiri di balik tabir itu. Ikhwan itu tersenyum seolah berkata ayo kita raih cinta Alloh lewat menikah. InsyaAlloh aku adalah jodohmu. Huaaaaaa, imajinasi yang aneh dan sedikit nyeleneh, hehe. -____-", cape deh...


            Permasalahannya, kalau kita bertemu jodoh kita nanti, sudah siapkah kita??? Karena dalam surat An-Nuur ayat 26 Alloh berfirman bahwa wanita yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk wanita yang keji. wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan Laki-laki yang baik untuk wanita yang baik”. Ya itu benar sekali, saya setuju akan hal itu. Jodoh kita adalah seseorang yang di mata Alloh pastinya kufu dengan kita. Sekali lagi, di mata Alloh lho. Kalau di mata manusia sih bisa menipu. Jadi, ingatlah selalu bahwa jodoh kita adalah cerminan diri kita. Istilahnya kalau kamu mau memimpikan Ali, ya kamu harus jadi Fathimah dulu, betul begitu?? 

Senantiasa berdo'a.  
"Ya Allah, jika memang saat yang tepat telah tiba, suatu hari nanti. Pertemukanlah kami dengan baik-baik. Karuniakanlah kepada hamba seorang suami yang bisa menjadi imam untuk hamba. Yang bisa membimbing hamba untuk meraih cinta-Mu. Yang bisa menjadi sarana hamba untuk beramal kepada-Mu. Yang bisa menjadi tempat hamba bertanya ketika hamba ingin tahu masalah agama. Yang bisa menjadi ayah yang baik untuk anak-anak hamba nantinya. Yang bisa menjadi tempat bersadandar kala lelah mendera. Yang bisa jadi tempat berbagi cerita, tak hanya suka dan tapi juga duka. Yang mau menerima kekurangan dan kelemahan hamba dan bisa menutupinya dengan kelebihan yang ia punya. Yang tepat dan terbaik, menurut Allah Azza wa Jalla. Dan semoga, begitupula hamba untuk dirinya. Saling melengkapi satu sama lain. Ketika tidak ada lagi kata aku dan kamu, yang ada hanya kita. Ketika tidak ada lagi ini egoku atau egomu, melainkan demi kebaikan bersama."

Ditulis setelah melihat fenomena di sekelilingku
Sindrom 20 tahunan bertebaran di mana-mana
Semoga saya tidak ketularan, hehe
Tapi insyaAllah saya akan mencoba belajar
Eaaaaa.....>.<"

IKM jilid 1 : Sekapur Sirih tentang IKM ^__^


Bismillaahirrohmaanirrohiim

Assalamu’alaikum…..^___^


Medical experience, again ! Kali ini aku mau cerita tentang pengalamanku di stase ketigaku. Kebetulan, tepat seminggu sebelum Ramadhan kemarin, aku sama temen-temen sekelompok coass-ku secara resmi telah menjadi coass stase Ilmu Kesehatan Masyarakat atau IKM. Stase ini katanya sih stase hura-hura alias stase jalan-jalan. Lumayan santai kalau dari kegiatannya. Tapi, karena kemarin aku sama temen sekelompokku dapet puskesmas yang paling jauh dan ngepasi puasa, jadi menurut aku stase ini nggak santai-santai amatlah, hehe. Penuh cobaan lah pokoknya, tapi dari situlah kami semua belajar (apalagi aku) tentang banyak hal. Pokokmen mantep deh hikmahnya ^__^b

Kami ada delapan orang yang nantinya terbagi jadi dua kelompok kecil, masing-masing empat orang. Aku kenalin satu-satu deh ya. Pertama, tentu aja aku sendiri, Ama. Terus ada temenku yang jenius banget, si Ucha. Terus, ada si mungil yang pinter juga, Dita. Ada Anis, yang jago presentasi. Ada Irma, yang suka menolong dan baik hati. Ada Nina, yang santai dan easy going banget. Ada Mba Sari, anggota kelompok yang paling senior, hehe. Dan tentu saja ada Galih, the only man in this group. Itulah teman-temanku yang sangat kompak di IKM ini.

Seminggu awal, kegiatanku cuma bimbingan di fakultas sama staff IKM yang baik hati dan banyak memberikan ilmu. Pernah ya, dalam sehari aku bimbingan dari pagi sampe sore sama salah satu Profesor di fakultas. Dan itu capek banget…bener-bener udah nggak konsen sama materinya, dan materinya itu tentang statistik yang udah jelas aku males banget buat mempelajarinya…nggak ngerti aku sama ilmu satu itu…I don’t know why..T__T

Nah, minggu kedua, adalah minggu pertama puasa. Kami pun udah mulai belajar di  luar fakultas. Kebetulan pas diundi kami dapet di daerah Sukoharjo. Otomatically, selama lima minggu ke depan kegiatan kami full di daerah tersebut. Tiga hari awal kami belajar di DKK Sukoharjo. Cukup banyak pelajaran yang bisa diambil. Jadi tahu, ternyata dunia per-DKK-an itu seperti itu. Bener-bener administratif, sibuk, dan tiap hari kerjaannya membuat dan mengevaluasi semua kebijakan-kebijakan dalam bidang kesehatan (nggak tipeku banget deh kayaknya…T_T). Di DKK kami dibagi jadi dua kelompok kecil, yang itu artinya masing-masing kelompok akan ditempatkan di puskesmas yang berbeda. Kelompok si Ucha yang terdiri dari Dita, Irma, dan Nina dapet di Puskesmas Polokarto. Lumayan deket. Sekitar setengah jam katanya kalau naik mobil dari kampus. Nah, kalau kelompokku, kebetulan dapet puskesmas yang paling jauuuh…di Kecamatan Weru…dan di sana aku bareng sama Anis, Galih, dan Mba Sari. 

Masuk ke tiga hari berikutnya dalam minggu kedua itu, kami belajar di RSUD Sukoharjo. Banyak hal yang kami pelajari juga di sini. Terutama tentang Sistem Kesehatan Nasional yang mengacu pada Referal System alias Sistem Kesehatan berjenjang. Bahasa gampangnya sih sistem rujukan. Jadi, ketika ada pasien sakit, mestinya di bawa dulu ke pusat kesehatan primer seperti puskesmas ataupun praktik dokter pribadi. Kalau bisa tertangani, cukup sampai di situ. Kalau ternyata butuh penanganan lebih lanjut atau misalnya kasusnya di luar kompetensi dokter umum, maka si Primary Health Care tadi harus merujuknya ke Secondary Health Care yang ada di atasnya, rumah sakit daerah misalnya. 

Nah, kalau masih belum bisa tertangani juga, barulah pasien di rujuk ke pusat pelayanan kesehatan yang tertinggi yaitu Tertier Health Care, misalnya RS tipe A yang pelayanan kesehatannya udah holistik dan komprehensif. Nah, idealnya sistem kesehatan berjenjang itu mestinya begitu. Jadi nggak bisa langsung main lompat gitu aja. Kecuali kalau kasusnya darurat, itu lain ceritanya. 

Salah satu topik asyik yang jadi bahan kami diskusi adalah tentang sistem jamkesmas. Ini sih udah sering aku jumpai di RS tempat aku biasa coass pas di Solo. Tapi selama ini aku cuma sebatas tahu jamkesmas karena itu ada kaitannya sama jenis resep yang diberikan pas di RS Solo dulu. Misalnya, pasien jamkesmas resep obatnya warna kuning, resep pasien Askes warna hijau, kalau resep pasien umum dan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) yang warna pink. Udah, aku taunya cuma sebatas itu. Kenapa dibedakan warnanya? Ya itu sih ada hubungannya dengan fasilitas dan jenis obat yang diberikan untuk pasien jamkesmas yang tentu aja beda dengan kalau bayar pakai cara lain. 

Misalnya, pasien jamkesmas itu selalu masuk kamar kelas III, nggak boleh kamar kelas II atau malah kelas I, terus jenis obatnya pun udah dijatah. Kalau misalnya dapet obat yang di luar daftar obat jamkesmas, udah pasti nggak bakal dapet. Ya ibaratnya, ada konsekuensi yang harus diterima kalau kita menggunakan fasilitas dengan gratis…tis…tis! 

Nah, tentang jamkesmas cuma yang superfisial gitu aja yang aku ngerti. Kalau ribetnya RS dan DKK mengatur klaim jamkesmas, jujur, aku masih belum terlalu paham. Tapi, alhamdulillahnya, di IKM ini aku belajar itu…jadi udah jauh lebih pahamlah sekarang, meskipun ga dalem-dalem amat). Kan emang di IKM ini kita –sebagai calon dokter- belajar tentang managerial sebuah sistem kesehatan seperti yang udah termaktub dalam Five Stars Doctor-nya WHO. Sedikit dibahas boleh deh yaa…Apa sih five Stars Doctor itu???


Five Stars Doctor adalah sebuah paradigma yang sebetulnya udah dibentuk sejak zaman Hipocrates dulu, yang kemudian di masa sekarang paradigma itu mulai didengung-dengungkan, bahkan udah dicanangkan bahwa semua dokter umum harus mampu memiliki lima sifat yang ada dalam five stars doctor itu. Intinya adalah, ada lima hal yang membuat seorang dokter itu dikatakan baik. Apa aja? 

  1. Care Provider. Nama Indonesiannya adalah penyedia layanan kesehatan. Seorang dokter mestinya harus mampu menyediakan sebuah pelayanan kesehatan ketika ada pasien yang membutuhkan pertolongannya. Ya mestinya tugas dokter kan emang itu, ya nggak?
  2. Decision-maker. Maksudnya adalah pembuat keputusan. Bayangin kalau sebagai dokter kita menemui kasus darurat yang butuh penanganan segera. Kita nggak mungkin kan harus buka buku dulu, atau searching di internet dulu, atau tanya sama dosen dulu. Ya iyalaah..!!! Keburu pasien kita sekarat kalo gitu caranya. Nah, inilah yang membuat seorang dokter beda dari profesi lainnya. Karena terkadang dokter dituntut cepat dan tepat untuk membuat keputusan apalagi jika di depannya udah ada pasien yang sedang meregang nyawa. Jadi, dokter kok angel yooo ternyata, hiks!
  3. Communicator. Nah, ini keterampilan yang susah-susah gampang, gampang-gampang susah. Sampe sekarang aja aku masih belum bisa menguasai keterampilan ini secara sempurna. Padahal komunikasi itu hal yang sangat vital dalam hubungan dokter-pasien. Dokter perlu mempersamakan persepsi antara dirinya dengan pasien. Misalnya gini nih, suatu saat kita sebagai dokter ketemu sama pasien yang orangnya katrok banget, nggak ngerti teknologi, bener-bener awam, mestinya cara kita menerangkan sakitnya beda dengan kalau pasin kita seorang guru besar, yang tiap hari kerjaannya ngisi seminar sana sini, masa komunikasinya mau sama??? Jelas beda kan??? Trus misalnya kita ketemu sama pasien kanker yang udah stadium 4, yang udah tinggal menunggu waktu dijemput malaikat maut, hayoo…mesti butuh teknik-teknik komunikasi tertentu kan??? Nah, itulah pentingnya keterampilan komunikasi buat seorang dokter. Emang gampang-gampang susah dan susah-susah gampang sih. But, nggak ada kata terlambat buat belajar. Justru dengan kita banyak bertemu pasien dari situlah kita dapet banyak pelajaran. Iya nggak??? ^__^
  4. Community Leader. Dokter pastinya juga manusia. Dia hidup dalam masyarakat juga. Dan biasanya dokter dinilai agak punya nilai lebih dalam hierarki kemasyarakatan. Dan justru karena itulah omongan pak dokter dan bu dokter biasanya lebih didengar. Nah, peran seorang dokter salah satunya adalah pemimpin (dalam hal kesehatan) di kampungnya. Misalnya ada wabah DBD di suatu daerah, udah banyak anak kecil jadi korban, masa si dokter mau diem aja?? Nggak kaaan…Nah, dokter perlu bertindak –sebatas kompetensi yang ia punya- untuk menjadi pemimpin dan penggerak dalam bidang kesehatan di masyarakatnya.
  5. Manager. Bentar..bentar…ini mau cerita soal dokter apa mau cerita perusahaan sih? Eh, jangan salah ya, dokter itu juga dituntut buat jadi manager yang baik lho. Kenapa ini penting? Bayangin aja. Semandiri-mandirinya seorang dokter, ia nggak mungkin kerja sendirian. Ia tetap butuh perawat, butuh bidan, butuh teman sejawat lain, butuh tenaga administrasi, dan banyak orang lainnya (ini kalau di puskesmas ya). Contoh gampangnya lainnya deh, tim operasi. Ada operator 1, operator 2, asisten 1, asisten 2, terus ada perawat yang ngurusin surgery tools-nya, terus ada dokter anestesinya, dll. Jadi dokter nggak mungkin kerja sendiri. Dia perlu keterampilan jadi seorang pengatur alias manager yang handal. Dan itu butuh belajar…belajar…dan terus belajar..
Nah, dari lima sifat dokter bintang itu, community leader dan manager adalah keterampilan yang akan aku pelajari di Stase IKM ini. Tapi, kayaknya aku nggak bisa nulis semua deh dalam satu postingan. Jadi aku bikin bersambung aja ya ceritanya. Hehe..biar seru dan penasaran. Oke?? Untuk cerita IKM jilid 2, harap menunggu dengan sabar yaaaa…arigato gozaimashita ^___^v

Sabtu, 24 September 2011

when life must go on :)


Bismillaahirrohmaanirrohim

 “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Q.S. al-Baqarah : 216)

Assalamu’alaikum. Ketemu lagi….



Kali ini aku nggak akan nulis kisahku di dunia FK, atau tentang buku yang barusan aku baca, ataupun tentang film yang barusan aku tonton, hmmm…aku lagi pingin merenung nih, kawan. Merenung soal kehidupan, terutama beberapa kejadian yang menimpaku akhir-akhir ini. Kawan, pernahkah kalian berharap akan sesuatu? Harapan apapun itu. Pasti kalian pernah kan, namanya juga manusia, kita punya hak untuk berharap, kita juga punya hak untuk berdo’a dan malah kita diwajibkan untuk itu. Meski pada akhirnya, Allah lah yang memegang keputusan dan sang pengetuk palunya.

Pernah nggak kalian berharap, dan harapan itu udah tinggi banget, bahkan di setiap sholat kalian, di setiap langkah kalian, di setiap do’a kalian, dan di setiap aktivitas kalian, harapan itu terus-menerus menemani? Harapan itu indah setinggi bintang, menerangi hati kalian, bahkan membuat kalian terus semangat menatap hidup, pokoknya harapan itu indah, nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Tapi, ternyata, seiring berjalannya waktu, semakin kalian dewasa dalam berpikir dan bertindak, kalian mulai merasa harapan itu lambat laun makin pudar sinarnya. Ia mulai redup detik demi detik. Entah kenapa. Semacam ada ketidakmantapan di dalamnya. Semacam ada tanda dari Allah bahwa harapan yang kita angankan itu ternyata memang tak baik untuk kita. Lho, kok bisa? Yang namanya harapan kan pasti baik, kok bisa nggak baik?

Sungguh, awalnya aku pun se-idealis kalian. Aku dulunya merasa bahwa aku pasti bisa menggapai harapan itu. Bagaimanapun caranya (cara yang baik lho ya..), aku insyaAllah akan bisa mewujudkannya menjadi kenyataan. Aku percaya Allah Maha Mendengar dan Allah Maha Mengabulkan, pastilah Allah akan mendengar rintihan hatiku kala itu, Allah pasti akan mengerti harapanku dan Allah pasti akan mewujudkannya karena aku sudah berdo’a dengan sepenuh keyakinan kepada-Nya.

Tapi ternyata aku salah besar. Karena aku membuat perhitungan yang kurang akurat. Sebegitu optimisnya aku pada harapanku, aku melupakan satu hal, bahwa apapun yang menurut mata kita ini baik, tepat, indah, dan terpantas buat kita, ternyata masyaAllah…, di mata Allah bisa saja berbeda!

Bisa jadi menurut Allah, semua hal yang kita anggap indah itu ternyata malah jadi bumerang dan ranjau buat diri kita. Pantas, kalau kita tidak mempertimbangkan sampai sejauh itu. Pantas, kalau kita hanya melihat segala sesuatu dari luarnya, secara kasat mata. Karena kita ini hanya manusia biasa, hamba Allah yang secara fitrah memang selalu penuh salah dan khilaf, penuh keterbatasan dalam segala hal…

Allah lah Rabb kita. Dia yang menciptakan kita, Dia yang memelihara kita dari sejak kita masih dalam bentuk morulla, blastula, sampai kita jadi dewasa seperti sekarang. Allah lah yang paling tahu kita, paling mengerti kita, paling paham jelek dan buruknya kita, dan Allah jugalah yang paling Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita. Seperti ayat yang ada di atas. Boleh jadi kita menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagi kita. Dan begitu juga sebaliknya.

Alhamdulillah…Alhamdulillah…lagi-lagi Alhamdulillah..

Terlepas dari terwujud atau tidaknya harapanku waktu itu, aku lega dan bersyukur pada Allah, sangat bersyukur! Sungguh, kusikapi hasil yang mungkin saja tak sesuai kenyataan ini tidak dengan setetespun air mata, melainkan aku menyambutnya dengan sesungging senyuman termanis yang pernah aku punya. 


Terima kasih ya Allah, atas segala kesempatan dan waktu yang lebih ini, karena Engkau telah menyadarkan hamba tentang sebegitu banyak hikmah, yang hikmah itu biarlah cukup Engkau dan hamba yang tahu. Terima kasih pula karena Engkau telah memberiku waktu, ya waktu, untuk kembali memperbaiki diri. Terus memperbaiki. Menjadi insan yang benar-benar baik dan pantas di saat yang tepat nanti. Ketika, mungkin saja, harapan yang hamba dengungkan dulu masih Engkau simpan dalam genggaman-Mu dan akan Kau kabulkan, dan pasti akan Kau kabulkan, meskipun itu nanti dan tidak sekarang, dan meskipun harapan itu tidak sama dengan apa yang harapkan dulu, tapi pastilah keputusan-Mu yang terbaik.

 Hamba percaya bahwa rencana-Mu jauh lebih indah dari siapapun. Skenario-Mu jauh lebih menarik daripada cerita penulis siapapun. Karena Engkau sutradara terbaik di seluruh jagat raya ini dan tidak ada seorangpun yang mampu menandingi-Mu, duhai Rabb…

Dan kini, izinkanlah hamba untuk terus memperbaiki diri. Terus…terus..dan terus belajar..Karena sungguh mencari ridho-Mu dan cinta-Mu itu adalah perjuangan yang tak bisa dibayar dengan apapun dan ketika hamba telah mendapatkannya maka itu adalah harta yang tak bisa terbeli oleh siapapun. Karena hamba pun meyakini pula, bahwa terkadang kasih sayang Allah pada kita tidak selalu dikabulkan seperti yang kita pinta dalam do’a-do’a kita. Terkadang Allah menundanya sejenak atau sementara karena Dia ingin mewujudkannya di waktu lain yang lebih indah. Atau mungkin Dia ingin menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik dan lebih pantas untuk kita. Karena sekali lagi…Allah Mengetahui sedang kita tidak mengetahui…

Dan hidup, harus terus berlanjut…
Bersemangatlah !!!!

                              

Selasa, 20 September 2011

Di Bawah Lindungan Ka'bah

 
Bismillahirrohmaanirrohiim…

Assalamu’alaikum….

Sekali-sekali pengen nulis yang bukan kisah kedokteran yaaa. Hehe…nggak papa deh, soalnya lama-lama boring juga kan kalau cerita tentang dunia FK terus. Kali ini nih, aku pengen nulis tentang sebuah film yang barusan aku tonton. Ceritanya gini, kemarin Ahad tanggal 11 September 2011, setelah datang ke acara walimahan sepupuku, aku, Mama, dek Acha, dan dek Ufa mencoba buat nonton film bareng di bioskop. Sekali-sekali refreshing gitu deh dari rutinitas sehari-hari yang padet dan melelahkan. Film yang kami tonton waktu itu judulnya “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH”. Film ini adalah film yang diadaptasi dari novel terkenal zaman mama masih muda dulu, novelnya judulnya juga sama, DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH, karya Buya HAMKA.

                     Pas liat trailernya di TV, mama sempet tercetus pengen nonton ni film. Pengeeeen banget! Aku sih heran aja, kok tumben mama pengen banget nonton film. Nggak biasanya gitu lhooo. Ternyata, pas muda dulu mama pernah baca novel ini, jadi mama pengen liat novel ini kalo difilmkan hasilnya kaya apa. Akhirnya jadilah kami nonbar film ini. Aku sih niat awalnya Cuma mau nemenin mama aja ya, soalnya aku juga ga terlalu tertarik sama film ini (awalnya), dan lagi aku juga belum pernah baca novelnya jadi aku belum ada bayangan ceritanya kaya gimana. Tapi, oke deh mam, Mba ama jabanin nonton film ini demi mamaku tersayang…

Kami datang di bioskop udah telat sekitar lima belas menitan. Jadi, pas liat filmnya aku bener-bener masih bingung ni film ceritanya gimana tho, ini pas adegan apa tho, maksudnya dialog ini gimana tho, pokoknya banyak pertanyaan-pertanyaan berkecamuk di pikiranku. Aku bener-bener nggak menikmati ini film, tapi mama beda, mama bener-bener menghayati film ini, makanya tiap berapa menit pasti aku nanya mama.
“Ma, ini ceritanya gimana tho?”
            “Maksudnya gimana Ma?”
            “Tokohnya siapa aja Ma? Konflik ceritanya apa?”
Dan seterusnya…
                     Sampai setengah jam kemudian, aku akhirnya mulai bisa menikmati dan memahami maksud cerita film ini, aku mulai ngerti tokohnya sapa aja, mulai ngerti alur ceritanya, mulai ngerti konflik-konflik antarpemainnya, mulai ngerti hikmah di balik cerita ini, bahkan aku sampe sempet nangis-nangis bombai juga akhirnya…hehehe.
                     Sebenernya film ini tu simpel ceritanya. Konfliknya juga nggak banyak, dalam arti konflik-konflik yang terjalin itu lebih ke konflik batin, bukan konflik lahir. Jadi, pemainnya harus keliatan memendam masalah atau menyimpan perasaan lewat sorotan matanya, bukan semata-mata dari dialognya. Kalau menurut penilaianku sih, acting dari pemain-pemainnya lumayan dapet laaah…
                     Film ini tu menceritakan tentang hubungan dua anak manusia yang sudah terjalin sejak kecil. Adalah Hamid dan Zainab, yang sebenernya saling mencintai dan memendam perasaan satu sama lain, cuma terpisah sama derajat dan status sosial (masalah yang sangat klise dan pasaran tapi tetep aja jadi konflik yang nggak lekang oleh waktu). Hampir mirip-miriplah sama kisah Romeo dan Juliet-nya Shakespeare atau Qais dan Laila di Laila Majnun atau Samsul Bahri dan Siti Nurbaya pas zaman dulu. Intinya sih kisah kasih yang tak sampai gitu deh. Cuma, balutan hikmah di film ini lumayan banyak menurutku. Apalagi ini novel religi.
                     Nah, ceritanya Hamid itu pemuda yang baik, alim, dan sholeh (cakep juga, hehe). Dia adalah anak dari pembantu keluarganya Zainab. Kalau Zainab sendiri udah jelas, pastilah gadis yang cantik, baik hati, dan sholehah juga.  Sebenernya mereka itu udah saling suka dari kecil. Cuma mereka terpisah oleh jarak karena Hamid harus sekolah di Jawa (latar belakang film ini adalah daerah sumatera barat). Nah, pas di terpisah jarak Sumatera-Jawa itu mereka masih saling kabar satu sama lain lewat surat. Akhirnya, setelah menempuh pendidikan, Hamid pun pulang kembali ke kampung halamannya dan kembali ketemu Zainab.
                   
 Selain saling menyukai, Hamid dan Zainab sebenarnya juga bersahabat. Mereka sering berdiskusi dan saling bercerita tentang impian masing-masing. Impian Hamid, dia ingin sekali naik haji ke tanah suci, dan sebenarnya ada sebersit keinginan di lubuk hati Hamid yang terdalam untuk bisa menyunting Zainab sebagai istrinya, tapi ia realistis kalau itu ibarat punguk merindukan bulan, mengingat status sosial mereka jelas jauh beda.
                     Zainab, seperti halnya Hamid. Ia juga punya mimpi, cuma impiannya lebih sederhana. Tapi menurut aku, yang juga sama-sama wanita, impian Zainab itu bener-bener dalem banget maksudnya. Zainab ingin dia menikah dengan orang yang ia cintai dan orang tersebut mencintainya juga (sebenernya nyindir si Hamidnya sih, kadang aku gemes aja sama Hamid, habis dia agak kurang peka aja gitu sama perasaannya Zainab, aku jadi heran apa semua laki-laki emang gitu ya??? Entahlah…)
                     Nah, akhirnya di suatu sore terjadilah insiden yang mulai menunjukkan tanda-tanda mulai klimaksnya film ini. Ceritanya, di kampung Hamid dan Zainab waktu itu mau ada lomba debat antara tim Hamid dan tim sapa gitu (aku lupa, he..). Zainab waktu itu pengen nonton, Cuma dia dikasih tugas ayahnya buat ngurus masalah pembukuan bisnis ayahnya. Jadilah, si Zainab dilema, antara ngerjain tugas atau ngeliat Hamid maju lomba. Akhirnya, Zainab tetep ngerjain tugas dari sang ayah dulu (dengan semaksimal mungkin dan secepat mungkin) trus dia langsung mengendarai sepedanya, meluncur ke surau, buat menyemangati sang pujaan hati yang lagi maju lomba.
                     Tiba-tiba, di tengah jalan, Zainab nggak liat kalau jalan ke surau itu ada jembatan yang rusak. Jadilah Zainab dan sepedanya nyebur ke sungai, dan parahnya Zainab nggak bisa renang, ia tenggelam! Semua orang geger. Lomba di surau pun terhenti karena huru-hara itu. Setelah tahu sang korban adalah Zainab, dengan refleksnya yang supercepat, Hamid langsung nyebur ke sungai untuk menyelamatkan gadis yang ia sukai. Akhirnya Zainab berhasil diselamatkan, tapi Zainab mengalami asfiksia alias henti napas gara-gara tenggelam. Semua orang bingung gimana nolongnya. Akhirnya, Hamid dengan sigap langsung melakukan bantuan nafas buatan dan Alhamdulillah Zainab berhasil batuk-batuk terus sadar.
                     Masalah mulai sampai ke peak-nya. Warga sekampung dan beberapa penghulu ternyata nggak semuanya setuju sama tindakan Hamid yang melakukan nafas buatan ke Zainab. Buat mereka, itu adalah tindakan asusila, nggak pantes, amoral, dan sebagainya. Padahal udah jelas, Hamid melakukannya karena kondisi darurat, lebih ke faktor kemanusiaan demi menyelematkan nyawa. Lagian kita pasti juga harus mau nolong (meskipun itu nafas buatan sekalipun) kalau kita nemuin ada orang yang henti nafas. Iya nggak??? Tapi karena orang-orang di kampung itu pemikirannya masih konservatif dan kolot, maka Hamid akhirnya diusir dari kampung itu sebagai hukuman atas perbuatannya.

                     Nah, yang bikin aku nangis…ngis…ngis..bener nangis sesenggukan ya pas adegan Hamid diusir ini, soalnya si Hamid itu bisa tetep ikhlas dan sabar banget menghadapi masalahnya, bahkan pas dia dimusuhi sama orang-orang sekampung, dia tetep senyum dan nggak marah. Subhanallah deh, kalau emang ada orang seperti Hamid di dunia nyata ini…
                     Selama bertahun-tahun Hamid hidup dalam pengasingan itu. Ia jelas pisah dari ibunya yang janda, ia jelas pisah dari tempat tinggalnya, ia jelas pisah dari teman-teman di kampungnya, dan ia jelas pisah dari Zainab! Buat mengisi waktu, ia pun bekerja jadi kuli di stasiun, dan hebatnya, meski ia dicoba dengan ujian yang begitu berat, Hamid tetep beribadah sama Allah dengan ikhlas dan istiqomah, padahal banyak orang yang ketika dia diuji ia justru mangkir dari mendekat pada Allah lho yaaa.
                     Nah, konflik muncul lagi. Ibunya si Hamid sakit. Hamid pun nggak sampai hati meninggalkan ibunya sendirian saja. Akhirnya Hamid minta izin sama warga kampung buat ngerawat ibunya, eh ternyata ibunya Hamid memang tidak berumur panjang. Ibu Hamid pun akhirnya meninggal dunia. Ini bener-bener ujian berat buat Hamid dan –hebatnya- dia tetep bisa sabar dan ikhlas meskipun –istilah kasarannya ya- dia udah “dibanting” sama Allah dengan ujian yang sebegitu rupa.
                     Belum selesai berduka cita, Hamid dapet masalah baru lagi. Kali ini masalahnya dari sisi Zainab. Setelah ayahnya Zainab meninggal dalam perjalanan naik haji, Zainab mau dijodohkan sama pemuda namanya Zulkifli yang konon lebih tinggi status sosialnya daripada seorang Hamid yang kuli angkut. Tapi Zainab nggak mau nikah sama Zulkifli. Dia menolak perjodohan itu. Zainab hanya menyukai satu lelaki dan orang itu adalah Hamid.
                     Nah, beratnya adalah ketika ibu Zainab meminta Hamid yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri dan dianggap sebagai satu-satunya orang yang omongannya bakal didengar sama Zainab, untuk membujuk Zainab biar mau nikah sama Zulkifli. Oh my God!!!! Coba deh kamu bayangin, kamu suka sama cewek ato cowok, terus kamu malah dimintai tolong sama orang tua cewek atau cowok itu untuk menjodohkan orang yang kamu sukai itu dengan orang lain. Gimana nggak makan ati tu ceritanya???!!! Tapi Hamid tetep mencoba menahan gejolak hatinya sendiri, ia berusaha melawan nafsu yang mampir di hatinya, ia memang suka sama Zainab dan ingin menikahinya, tapi dia juga ingin Zainab bahagia dan menurut Hamid perjodohan Zainab dan Zulkifli itu adalah salah satu cara supaya Zainab bahagia. Apalagi, Hamid hanyalah punguk dan Zainab adalah bulannya. Status sosial mereka berkilo-kilo meter jaraknya. Hanya aja, Zainab kan dari dulu udah bilang, dia hanya mau menikah dengan orang yang ia cintai dan orang tersebut mencintainya juga. So, emang susah deh dijelasin, cuma buat aku pribadi, ini perang batin yang nggak ringan juga lhoooo…
                     Nah, gimana ending kisah ini selanjutnya? Happy ato sad ending kah? Silakan nonton sendiri aja yaaaa..hehehe…aku Cuma mau nulis beberapa pelajaran yang bisa aku ambil dari film ini…intinya sih, hampir semua dialognya tu (menurutku) penuh dengan pembelajaran hidup..
1.      Salah satu tanggung jawab orang tua kepada anak adalah mencarikan jodoh. Nah, memilih jodoh buat anak ini bukan perkara yang mudah memang, harus nimbang bibit, bobot, dan bebetnya. Cuma, Rasulullah pun udah memberikan pelajaran tentang memilih jodoh ini. Salah satu indikator utama dalam memilih pasangan hidup adalah AGAMAnya. Itu adalah hal yang mesti diutamakan. Jadi bukan dari pekerjaannya, bukan dari ketampanannya, bukan dari status sosialnya, bukan pula dari kekayaannya. Nah, selain agama, salah satu hal yang juga perlu diperhatikan dalam memilih jodoh ini adalah perasaan cinta.
Oke, Cinta emang bukan hal yang urgent sih, ia memang bisa ditumbuhkan, ia bisa dibiasakan, tapi tetep cinta juga diperlukan dalam menjalin sebuah hubungan pernikahan. Ibarat menanam tanaman, cinta adalah pupuknya, ia memang tidak selalu harus ada, karena tanpa pupuk tanaman itu bisa tetap tumbuh, hanya saja, kalau ada pupuk pasti tanaman itu lebih subur dan buahnya lebih melimpah. Iya nggak??? Iya dong!!! Jadi, alangkah lebih bijaksana jika melihat kasus Hamid dan Zainab di atas, mestinya orang tua Zainab juga tetep melihat kecenderungan hati anaknya itu kemana. Hamid sholeh, alim, dan sopan. Agamanya baik. Apalagi mereka berdua saling suka, mestinya kan bisa dinikahkan aja, akhirnya cinta mereka kan bisa berlabuh dan hidup bahagia. Iya nggak??? Iya dong!!! Hehehehe
2.      Pas waktu adegan ibu Hamid meninggal, aku nangis agak kenceng (jujur, he..). Selain adegannya mengharukan, aku juga nangkep banyak banget pelajaran hidup dari dialog ibu-anak itu menjelang sakaratul maut. Jadi, sebelum meninggal, Ibu Hamid sempat berwasiat, dia sempat mengeluarkan segepok emas di sapu tangannya. Emas-emas itu adalah hasil kerja keras dan kristalisasi keringatnya yang udah kerja jadi pembantu selama bertahun-tahun. Dia menyerahkan emas itu kepada Hamid, anaknya, sebagai bekal untuk hidup Hamid. Dia juga berpesan bahwa rumah mereka yang di kampung itu juga untuk Hamid.
Nah, disinilah aku belajar, sebisa mungkin, ketika kita jadi orang tua nanti, jadilah orang tua yang bertanggung jawab. Bentuk tanggung jawab itu salah satunya adalah : jangan meninggalkan anak-anak atau keturunan kita dalam kondisi miskin atau nggak punya apa-apa. Sebisa mungkin, berilah bekal pada mereka. Kalaupun kita tidak kaya, tidak punya permata, mobil pun tak ada, dan rumah hanya seadanya, paling tidak, kita tetap meninggalkan sesuatu untuk anak-anak kita kelak. Bekal itu nggak harus dalam bentuk harta. Ilmu, bisa jadi adalah salah satu bekal itu. Bahkan ilmu jauh lebih utama dibanding harta. Seperti ibu hamid yang kerja keras jadi pembantu buat nyekolahin anaknya sampai ke Jawa. Itu juga bentuk tanggung jawab lho. Aku jadi  inget kata mama padaku beberapa waktu lalu. Begini kata mama :
“Mbak Ama, mama memang tidak memiliki harta yang banyak untuk ninggalin Mbak Ama. Tapi Mama ninggalin Mbak Ama itu ilmu, caranya dengan menyekolahkan Mbak Ama di kedokteran seperti sekarang. Tujuan mama Cuma satu, biar ketika Mbak Ama jadi dokter nanti, Mbak Ama udah punya cangkul sendiri untuk menata dan mengatur hidup Mbak Ama di masa depan nanti. Biar nggak selamanya bergantung dan minta-minta sama suami, biar Mbak Ama bisa tetep mandiri kalau ada apa-apa, dan biar Mbak Ama juga tetep bisa meninggalkan sesuatu untuk anak-anak Mbak Ama nanti….”
Subhanallah, gimana nggak nangis coba ndenger mama ngomong kaya gini. Pokoknya, aku Cuma bisa bilang mamaku hebaaaaaatttt sekali. Ya Allah…Semoga aku bisa jadi orang tua yang baik untuk anak-anakku kelak seperti halnya mama jadi orang tua yang baik untukku..Aamiin…
3.      Pelajaran ketiga, aku banyak belajar dari ketabahan, kesabaran, dan keikhlasan seorang Hamid. Ibarat kata, meski dia “dibanting” Allah dengan ujian yang bertubi-tubi, dia tetep bisa nerima dan bahkan ibadahnya makin baik aja. Selain itu, tauhid si tokoh Hamid kepada Allah di film ini bener-bener harus kita contoh. Dia bener-bener yakin sama Allah, seyakin-yakinnya. Dia bener-bener berprasangka baik sama Allah, sepositif-positifnya. Ada kata-kata bagus di film ini yang sampai sekarang jadi kata-kata favoritku dan aku tulis di blog-ku ini juga. Ya nggak ngeplek banget sih sama di film, ada kata-kata yang aku ubah dikit biar diksinya lebih manis, tapi tetep intisarinya sama.

Jika engkau merasa sendiri, tanpa seorangpun yang bisa kau jadikan tempat berbagi, ketahuilah, bahwa sebenarnya engkau tak sendiri, karena ada Allah Subhanahu wata'ala yang selalu ada untukmu...

Alhamdulillah sampai juga di penghujung tulisan. Penilaianku sama film ini pokoknya two tumbs up deh. Mungkin kalian perlu nonton juga kalau ada waktu, insyaAllah pelajaran hidup di film ini banyaaak banget (apalagi untuk aku pribadi). Intinya, ni film recommended !!!

Sabtu, 17 September 2011

Interna...Oh...Interna


Bismillaahirrohmaanirrohiim

Assalamu’alaikum. Ketemu lagi deh, he..he..Moga2 nggak bosen ya baca tulisan-tulisanku. Nah, di postinganku kali ini aku mau menceritakan tentang pengalamanku di stase kedua saat kepaniteraan klinik di sebuah RS negeri di Kota Solo yang damai dan tenang ini. Setelah stase bedah berlalu, namaku dan beberapa teman-teman yang sekelompok denganku akhirnya tercatat sebagai coass ilmu penyakit dalam atau bahasa kerennya sih, INTERNA.
Stase ini juga termasuk stase besar, jadi waktu belajarnya lumayan lama, yaitu 8 minggu. Cuma, ada perbedaan yang cukup signifikan antara stase bedah dengan stase interna yang aku alami kemarin. Selain dari segi ilmu yang dipelajari berbeda, stressor yang dihadapi, tugas yang harus dikerjakan, dan aktivitas tiap harinya juga bedaaaaaa banget. Yang jelas, pas masuk interna awal-awal, aku banyak-banyak adaptasi deh!
 Salah satu beda interna dengan bedah pas zamanku kemarin adalah, di interna nggak ada pembagian sub-sub stase seperti halnya bedah. Sebenarnya cukup disayangkan sih (menurutku), soalnya ilmu di penyakit dalam itu banyaaaaak banget, dan alangkah lebih efektifnya jika penyakit yang bejibun jumlahnya itu dibagi dalam masing-masing sub, seperti sub hemato, sub kardio, sub reumato, dll, jadi kan belajarnya lebih enak dan sistematis. Tapi itu kembali ke kebijakan masing-masing SMF / bagian juga, kita sebagai coass sih hanya bisa menjalani dan belajar dengan sebaik-baiknya.
Untuk di interna sendiri, pembagiannya tiap minggu berdasarkan pada urutan bangsal, poli, dan laboratorium, oh iya..ada juga stase luar di RS Boyolali, cuma, waktu itu aku termasuk yang nggak dapet boyolali. Sebenernya aku pengen lho, soalnya kalau stase luar gitu coassnya bener-bener dilepas untuk merawat dan mengobati pasien (di bawah pengawasan staff tentunya), dan enaknya, coass yang dapat stase luar langsung dibimbing sama staff di RS itu. Tapi aku percaya, pasti ada hikmah kenapa aku nggak dapet stase luar, salah duanya, aku bisa ngejar syarat kasus kecil tepat waktu dan nggak kepontal-pontal, dan alasan lainnya (ini kelemahanku sih) aku bukan tipe orang yang betah lama-lama tinggal di luar rumah apalagi di tempat baru, soalnya aku homesick-an orangnya, he..he..(ini nggak perlu dicontoh ;p). Nah, mau tahu kisahku di interna seperti apa? Yuk..lanjut bacanya..
Hari pertama masuk interna, jujur, aku kaget sekaligus seneng. Soalnya masuknya jam 8 dan itu belum ngapa-ngapain. Cuma dibagiin logbook, bimbingan sama salah satu staff, habis itu pulaaaangggg….duh, happy banget deh bisa pulang pagi, jarang-jarang coass (apalagi stase besar) bisa pulang di bawah jam 12, dan asyiknya lagi “saat-saat kebebasan” itu berlangsung sampai hari-hari berikutnya di minggu pertama.

Nah, masuk ke minggu kedua, saatnya mengucapkan good bye sama yang namanya pulang pagi. Maklum aja, mulai minggu kedua ini, aku udah mulai sibuk sama yang namanya ngejar syarat buat ujian. Di interna ada syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya kita bisa ujian. Syaratnya itu ada lima kasus kecil, satu refrat, dan satu kasus besar. Untuk kasus kecil itu, aku ngerjain sendirian soalnya emang tugas individu, jadi ceritanya kita bikin laporan kasus dari pasien yang kita ajuin ke staff dan staff udah ACC kasus itu, nah habis itu kita bikin laporannya, terus setelah jadi mentahnya kita konsulin dulu ke residen. Nah, kadang di residen ini butuh waktu lebih dari sekali buat revisian, kalau udah fix, baru deh kita maju ke staff dan siap buat ditanya-tanya. Mantep kan?! Di sinilah ada istilah interna menang otak dibanding otot, soalnya kepala kita emang kudu berisi dulu sebelum maju ke staff, biar kalo kita ditanya-tanya kita nggak ngah-ngoh gitu deh, intinya sih MUSTI BELAJAR !!!!
Untuk refrat dan kasus besar dikerjainnya kelompok, jadi lebih enak, cuma ya itu, harus diujikan di depan staff dan di depan temen2 coass yang lain, so kudu siap-siap dengan pertanyaan yang banyak. Teteeeuup, prinsipnya di interna itu belajar…belajar…dan terus belajar..hehe. Tapi, justru itu yang aku suka dari interna. Atmosfir yang ada si stase ini beda banget sama pas di bedah. Kalau di bedah dulu coass lebih banyak diam dan nurut sama apa yang harus mereka pelajari. Tinggal terima aja pokoknya. Kalau di interna, prinsip kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan mengkritisi suatu keputusan medis, itu hal yang lumrah dan wajar, bahkan malah cenderung diharuskan! So, rasanya kaya balik ke pas zaman kuliah dulu, ketemu tutorial, saling bertanya, saling mengkritisi, dan kembali berdiskusi. Like this deh! d^^b
Di interna aku belajar banyak kasus, terutama kasus yang sering ditemui oleh dokter umum, semisal diabetes mellitus, hipertensi, PPOK, asma, gagal jantung, gagal ginjal, PJK, sirosis hepatis, hiperlipidemia, anemia, demam tifoid, ISK, dll, juga kasus-kasus yang jarang bisa ditemuin kaya HIV/AIDS, SLE, hepatoma, leukemia, dll. Di sini aku bener-bener nemuin pasien-pasien secara langsung, anamnesis mereka, pemeriksaan fisik ke mereka, dan mencoba memahami hasil pemeriksaan penunjang yang sudah mereka lakukan. Belum lagi aktivitasku sama temen-temen tiap pagi adalah follow up pasien meliputi vital sign dan SOAP lewat metode POMR (Problem Oriented Medical Record). Metode ini menurutku lumayan sistematis dan efektif untuk follow up pasien, soalnya tiap hari kita perlu menggali keluhan pasien dan melihat hasil pemeriksaan penunjangnya, jadi assessment atau diagnosisnya bisa aja berubah, intinya metode ini dibuat supaya tidak ada keluhan atau masalah pasien yang terlewat untuk ditatalaksana. 

Aku juga bersyukur, di interna ini aku dapat partner yang sangat membantu aku belajar. Ada Ucha yang pinter dan jago pemeriksaan fisik dan ada Dita yang rajin belajar dan kemampuan analisisnya sangat bagus. Ada cerita unik nih!. Ceritanya, waktu itu aku lagi ngerjain kasus kecil pertamaku, kebetulan aku dapet pasien dengan candidiasis oral dan ada batuk berdahak lebih dari empat bulan. Sekilas lihat keluhan pasien dan lihat kondisi pasiennya, aku udah curiga, jangan-jangan ini pasien B24 atau B20. Akhirnya setelah aku lihat statusnya, eh iya! Dia positif B24, soalnya dia belum sempat ditest rapid test untuk HIV, jadi B20 nya belum tegak.
Permasalahan terjadi ketika aku, Ucha, dan Dita pengen menganamnesis pasien tersebut berkaitan dengan riwayat gimana dia bisa tertular virus mematikan tersebut. Logika kami waktu itu, ada tiga kemungkinan penularan HIV. Satu, lewat hubungan seksual. Dua, lewat kontak darah, entah itu jarum suntik, penggunaan narkoba, atau bisa aja transfusi, riwayat pakai tato, dll. Tiga, penularan vertikal dari ibu ke anak (yang ketiga ini jelas nggak mungkin, soalnya pasiennya cowok dan dia nggak mungkin mengidap HIV dari bayi masih hidup aja sampe sekarang, makanya kami eliminasi sejak awal).
Dan ternyata oh ternyata, pasien itu juga nggak ada riwayat kontak dengan yang namanya jarum suntik, saudara-saudara….Jadi, jelas! Tinggal hubungan seksual lah transmitternya. Nah, masalah baru muncul lagi. Gimana caranya, menganamnesis pasien biar dia cerita kalau dia pernah “jajan”, itu yang susah! Apalagi pasiennya agak nggak kooperatif waktu itu. Dia sangat sensitif dan cenderung menyangkal. Kita yang mau anamnesis jadi bingung sendiri. Duh gimana neeee….!!!
Akhirnya sang penolong datang juga. Ada salah satu residen interna yang waktu itu mengurusi bangsal yang sama dengan kami. Kami pun minta tolong sama residen itu buat diajarin cara anamnesis pasien untuk cerita pernah nggak dia “jajan”. Akhirnya sang residen pun menyanggupi dan dia mulai beraksi. Awalnya residen itu ngajak si pasien salaman terus minta izin dulu baik-baik. Terus dia mulai tanya-tanya dengan jurus anamnesis mautnya. Dan tiba-tiba pasien bisa keluar ceritanya. Wow!! Ternyata pasien itu pernah tinggal di Irian buat jualan sepatu setelah ditinggal mati istrinya, akhirnya ia pun merantau, dan di pulau rantauan itu ia kadang-kadang “jajan” sama beberapa wanita PSK di sana. Jadilah ia tertular penyakit itu.

Pelajaran yang bisa aku ambil dari kisah ini : ternyata jadi dokter itu bukan hanya membutuhkan obat dan pisau bedah, tapi dokter juga dan sangat butuh yang namanya kata-kata. Gimana ia menarik perhatian dan kepercayaan pasien, gimana ia menjalin hubungan sambung rasa dengan pasien, gimana ia berempati tanpa bersimpati pada pasien, gimana ia bisa menggali sebuah petunjuk dari ribuan cerita dan keluhan pasien untuk menegakkan diagnosis, di situlah! Di situlah, peran seorang dokter sebenarnya berawal. Dan dari residen itu aku belajar. Makasih dok, ilmunya J
Sebenernya banyak banget kisah di interna yang ingin aku tulis. Tapi ntar nggak habis-habis dong ya. Pokoknya interna teh seru pisan, euy! Apalagi pas minggu terakhir sebelum ujian, wuihhh!!! Gempor kaki kami, saudara-saudara! Kok bisa? Ya iyalah! Bisa dibilang minggu ketujuh itu minggu hidup dan mati (buat ngejar syarat). Tiap hari kegiatannya selain follow up adalah menunggu, mencari, dan mengejar staff.
Nah, jadi pengen cerita lagi nih! Ehehe..nggak papa ya :P
Ceritanya waktu itu mau cari staff buat maju kasus kecil, sebenernya aku sama temen-temen yang sekelompok sama aku udah maju sih, cuma kurang ngumpulin PR dan minta tanda tangan staffnya aja, tapi ternyata banyak temen-temen lain yang juga butuh tanda tangan staff itu, ya senior, ya junior, hari itu kayaknya semuanya pada kompakan nyari sang dosen tersebut. Beliau ceritanya lagi jadi satu-satunya orang yang most-wanted buat coass-coass interna. Hampir semua coass dilibatkan untuk standby di tempat-tempat yang kira-kira dokter itu sering mangkal. Ada yang nunggu di ruang hemodialisa (HD), ada yang nunggu di anggrek 4, ada yang nunggu di poli cendana, ada yang nunggu di poli interna, semuanya gerilya, berjaga-jaga! Tiba-tiba sebuah jarkom berbunyi yang mengabarkan sang dokter ada di ruang HD S-E-K-A-R-A-N-G! Jadilah, puluhan coass interna berduyun-duyun ke ruang HD, tapi ternyata penonton kecewa! Sang dokter –entah lewat pintu mana dan berjalan dengan sangat cepat mungkin saja-- tiba-tiba keluar dari ruang HD meninggalkan puluhan coass yang menanti untuk minta tanda tangannya (dah kaya artis dikerjar fans dan paparazzi aja, hehe). Akhirnya pengejaran pun di mulai. Alhamdulillahnya, ada salah satu dari kami yang sempat melihat sang dokter berjalan ke arah bangsal Melati, kamipun memutuskan untuk mengikuti, tentunya dibatasi jarak sekitar 10 meter di belakangnya. Dah kaya detektif gitu deh! Haha.
Eh, ternyata sang dokter naik tangga, naik terus sampai ke bangsal cendana. Kamipun masih dengan setia di belakangnya. Dokter itu visit dan kami menunggu. Lalu sang dokter melanjutkan perjalanannya ke bangsal anggrek dan kami pun kebat-kebit mengejarnya. Kalau inget kejadian itu aku pengen ketawa. Soalnya hampir semua orang yang ngeliat kami pada heran. Pemandangannya emang lucu banget sih! Sampai-sampai ada komentar :”busett…dokter X ekornya panjang banget” gara-gara ngeliat satu dokter diikuti oleh puluhan coass yang semuanya berderet nyaris dari bangsal anggrek sampai cendana. Yang kalo mau ngukurin pake meteran (kurang kerjaan banget ya, hehe), itu benar-benar panjang ekornya. Hehe.

Yahhh…Alhamdulillah. Itulah interna yang berkesan. Aku bersyukur bisa menjadi bagian dari kisah interna saat itu. Semoga aku bisa mengambil hikmah dan ibrah dari setiap aktivitasku. Yang baik monggo diambil, yang jelek monggo dibuang. Sampai ketemu di tulisanku berikutnya. Ditunggu yaaahhh ^___^