Jumat, 31 Desember 2010

Ikhlas dan masa depan..


Bismillaah…

Pernahkah anda merasa takut akan masa depan? Pernahkah anda merasa khawatir dengan apa yang akan terjadi nanti? Pernahkah anda menerka dan meraba kira-kira bagaimana nasib anda di kemudian hari?
Kalau anda pernah, maka saya pun juga pernah mengalami hal itu.
Rasanya sungguh gelisah luar biasa, bahkan kalau saat kepikiran tentang masa depan seperti ini, saya bisa sampai tidak berselera makan dan tidak nyenyak tidur. Rasanya masa depan begitu misterius, menghadang di depan pelupuk mata.
Kira-kira saya lima tahun lagi akan seperti apa ya?
Apakah saya sudah bekerja? Dan di mana gerangan saya bekerja?
Apakah saat itu saya sudah menjadi seorang dokter?
Kira-kira nasib nanti saya bagaimana ya?
Terus jodoh saya siapa ya?
Apakah lima tahun lagi nanti saya sudah menikah?

Seperti itulah kiranya, sentilan-sentilan kecil yang sering berkelebatan di pikiran saya. Awalnya saya ikuti pikiran itu, hingga akhirnya malah hati ini jadi cemas dan khawatir sendiri.
Sepertinya saya yang salah. Seharusnya saya tidak perlu berpikir sampai sejauh itu. Semuanya adalah kekhawatiran yang saya buat-buat sendiri. Dan semuanya belum tentu terjadi. Karena sungguh, masa adalah rahasia Allah yang bahkan kita tak bisa menerkanya, tidak bisa menebaknya, tidak bisa mengintipnya. Kita hanya bisa menjalani. Ya! Menjalani hari-hari yang DIA beri untuk kita. Lantas kita diperintah-Nya untuk menggambar lukisan terindah yang harus kita lukis dalam kanvas satu hari itu...

Intinya, jangan terlalu terpaku pada masa depan. Karena ia misteri. Ia tak pasti. Cukup kita hadapi saja hari ini. Hanya hari ini! Karena bisa jadi, itu adalah hari terakhir, kesempatan terakhir yang DIA berikan untuk kita lukisi dengan amalan-amalan kita.
Bukan berarti, lalu kita tidak boleh berpikir tentang masa depan dan akhirnya kita tidak memiliki mimpi. Menyusun rencana, menabur benih-benih impian, dan membangun cita-cita itu sangat dianjurkan, tapi jangan kemudian kita terlalu memikirkan masa depan terus kita jadi lupa pada apa yang menjadi kewajiban kita di hari ini.
Selama kita yakin dan percaya pada Allah, dengan sepenuh keyakinan pada-Nya, insyaAllah Allah pasti akan membantu kita. Jika kita masih mengkhawatirkan masa depan, maka berarti kita sama saja dengan meragukan Allah! Padahal DIA adalah Rabb yang Maha Segala-galanya. Dia tempat kita meminta. Dia tempat kita menggantungkan asa. Dan yakinlah, Dia Maha Kaya…!!!

Just, do the best and Let Allah do the rest…
Keep ikhlas! Karena ikhlas bukanlah beramal dengan tanpa tendensi apapun. Ikhlas justru menuntut tendensi paling tinggi, yakni tendensi hanya mengharap ridho illahi robbi…Dan ketika kita bisa ikhlas, mau masa depan yang manis, asem, asin, atau bahkan pahit sekalipun, itu tidak akan mengubah kita karena kita senantiasa ikhlas mengharap ridho-Nya meski kondisi yang menyelubungi kita kadang berbeda…Jadi, nasihat saya untuk diri saya sendiri, jadilah manusia yang ikhlas….


Senin, 22 November 2010

sekelumit untukmu masa laluku

Masa lalu, terasa begitu jauh di belakang sana. Hanya bisa kutatap saat aku memalingkan muka.
Memandang masa lalu memang ada sensasi tersendiri. Karena saat-saat itu telah kita lewati dengan catatan sejarah tersendiri.
Ada kesedihan
Ada kebahagiaan
Ada senyuman
Ada air mata
Dan ada kegetiran yang senantiasa menyayat hati ketika aku mengingatnya lagi.
Tapi, kita tidak hidup di masa lalu. Masa lalu adalah sesuatu yang paling jauh dari manusia.
Ia tidak akan pernah berputar, berbalik, dan kembali
Namun, sepahit apapun masa lalu, aku tak akan pernah menyesali
Dengar!
AKU TAK AKAN PERNAH MENYESALI
Camkan!
AKU TAK AKAN PERNAH MENYESALI


aku bersyukur mengambil keputusan itu
karena manusia sejati tak akan pernah menelan ludah sendiri


kalaupun ada masa lalu yang kurindui
maka itu adalah masa-masa ketika cahaya keimanan itu begitu benderang menyala dalam kalbu
ketika ibadah begitu ghiroh ditunaikan
ketika salam begitu syahdu didengungkan
ketika merasakan sesuatu di hati adalah sebuah kesalahan
ketika ghadul bashar menjadi kebiasaan
ketika dzikir tak pernah lepas dari lisan
ketika diri ini begitu semangat mengikuti kajian
Maka, itulah masa lalu yang kurindu....

Selasa, 16 November 2010

Benci = Benar-Benar Cinta ???

Bismillaah

Orang Jawa bilang gething iku nyanding, benci itu akan bersatu. Agak skeptis dengan pendapat ini. Benarkah demikian?? Setipis itukah batas antara cinta dan benci???
Tapi Rasulullah SAW pun juga berpesan untuk tidak menyukai orang berlebihan karena bisa jadi orang yang kau sukai akan menjadi orang yang kau benci, pun jangan kau benci seseorang yang berlebihan karena bisa jadi ia akan jadi orang yang kau sukai...

bersikaplah sewajarnya.....tak perlu berlebihan dalam merasa semuanya...jikalau kau memang harus membencinya, bencilah ia karena sifat dan perangainya, dan bukan karena orangnya...

bersikaplah biasa....karena segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik

Betul????

Kamis, 11 November 2010

Siapa Bilang Orang Indonesia Tidak Suka Membaca ?????

            Indonesia. Demikianlah nama negara satu ini. Sebuah negara yang sangat kaya raya. Kaya akan sumber daya alam dan kaya akan jumlah penduduk. Sebuah negara yang disebut-sebut termasuk dalam salah satu surga dunia. Ini karena Indonesia terletak di kawasan yang sangat strategis, yakni di tengah-tengah perpotongan dua samudera (Pasifik dan Hindia) dan dua benua (Asia dan Australia).
Dari segi topografisnya, Indonesia dijuluki sebagai negara agraris dan juga negara maritim. Agraris karena Indonesia sangat terkenal akan pertaniannya (di mana sebagian besar penduduk Indonesia bekerja sebagai petani) dan juga kaya akan hutan, rawa, dan padang rumput. Sedangkan julukan maritim disebabkan karena dua per tiga wilayah Indonesia adalah lautan dan penduduk Indonesia juga banyak yang menjadi nelayan.
            Karena melihat potensi alam yang begitu besar inilah, banyak orang luar negeri yang iri dan ingin menguasai Indonesia. Realisasi dari keirian bangsa lain itu telah termaktub dalam buku sejarah yang selama ini kita pelajari di sekolah. Adalah dua bangsa, bernama Belanda dan Jepang, yang selama ratusan tahun menjajah dan mengeruk kekayaan dari negeri kita tercinta ini. Mereka, dengan entengnya merampas semua yang menjadi milik bangsa kita. Padahal, saat itu jumlah penduduk Indonesia jauh lebih banyak!
Yang terjadi di zaman sekarang pun ternyata tak jauh beda. Meski sudah merdeka selama 65 tahun, nyatanya kita masih saja menjadi bangsa yang berkembang, dianggap terbelakang, bahkan dinilai tertinggal! Sampai detik ini, kita masih terbelenggu oleh penjajah-penjajah dalam wujud vampire-vampire liberalisme dan kapitalisme yang semakin hari semakin tajam menggigit kehidupan kita.
            Dan inilah, yang kemudian menjadi tanda tanya besar untuk kita semua. Kenapa Indonesia masih seperti ini???
Ada banyak alasan dikemukakan. Salah satunya adalah karena rakyat Indonesia, katanya, adalah orang-orang yang masih bodoh dan terbelakang. Jadi, keadaaan negara kita yang seperti ini disebabkan oleh faktor sumber daya manusianya. Ada human error di sini. Hanya saja, kenapa human error bisa terjadi dalam kurun waktu ratusan tahun? Kenapa bangsa kita tidak juga berbenah padahal sudah tahu kalau kesalahan itu diperbuat oleh diri sendiri? Kenapa kita masih saja “betah” dan “nyaman” menjadi manusia-manusia yang sudah tahu kalau salah, tapi tidak juga berubah?  
            Dari keadaan ini, sudah seharusnya kita menyimak lebih teliti lagi hasil survei yang sudah dilakukan oleh UNESCO yang mengatakan bahwa minat baca penduduk Indonesia sangat jauh tertinggal dibanding negara-negara Asia lainnya. Berdasarkan data yang dilansir Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) secara statistik, budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Padahal Indonesia telah lebih dari setengah abad merdeka dari belenggu rantai kolonial yang sengaja membuat rakyat kita jauh dari budaya membaca. Hasil survey ini secara aklamasi menunjuk dada bangsa kita, bahwa penduduknya TIDAK SUKA membaca!
Lantas, adakah korelasi antara kemajuan suatu bangsa dengan minat membaca penduduknya?? Oh, tentu saja ada! Jelas ada. Ts. Elliot, penyair termahsyur dari Inggris abad 20-an menyatakan sebuah kalimat yang begitu dalam maknanya. “Sungguh sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca. Dan salah satu pilar yang menyangga budaya tulis dan baca adalah buku”. Inilah dahsyatnya sebuah benda bernama buku. Inilah hebatnya sebuah aktivitas yang bernama membaca. Keduanya adalah pondasi dasar untuk menunjang suatu bangunan bernama bangsa.
Namun, kembali pada dilema di atas. Benarkah rakyat Indonesia memang malas membaca bahkan tidak suka membaca? Dan kenapa? Ada banyak sebab tentunya.
Pertama, Kurangnya penanaman budaya membaca. Perlu kita ingat bahwa membaca adalah sebuah aktivitas yang tumbuh karena dibiasakan. Membaca adalah penanaman nilai-nilai yang dipupuk semenjak kecil. Dan sayangnya, bangsa Indonesia masih minim akan hal itu. Sedikit sekali orang tua zaman sekarang yang menumbuhkan budaya membaca ini di rumah-rumah mereka, di fase-fase pertumbuhan dan perkembangan anak-anak mereka, di sela-sela waktu luang mereka. Sangat sedikit!
Mereka, para orang tua, terlalu lelah dan tak mau repot mendidik anak-anaknya untuk suka membaca. Meski itu hanya bacaan dongeng sebelum tidur. Coba saja kita lihat sekeliling kita saat ini! Berapa banyak orang tua yang masih menjadikan ritual mendongeng sebelum tidur atau sekedar membacakan buku cerita ke anak-anak mereka? Tentunya, kalaupun masih ada, jumlah ini pastinya sangat minoritas sekali.
 Di era globalisasi seperti sekarang, para orang tua lebih suka memanjakan mata anak-anak mereka dengan tontonan televisi dan tayangan-tayangan online di internet. Saya tidak mengatakan menonton dan melakukan aktivitas visual lewat televisi itu salah, hanya saja, ada tahap-tahap yang harusnya dilalui oleh manusia (secara ilmiah dan psikologis) sebelum akhirnya sampai pada tahap menonton secara visual. Tahap apa itu? Membaca! Itu dia!
 Normalnya, pekembangan visual manusia diawali lebih dahulu oleh aktivitas membaca, baru setelah membaca terlampaui, mata ini bisa kita ajak untuk melihat secara visual langsung lewat televisi maupun internet. Itu normalnya. Namun sayangnya, orang tua zaman sekarang lebih suka menanamkan budaya instant. Mereka melompati satu tahap dasar untuk langsung lompat kelas menuju ke tingkat menonton. Makanya, jangan heran dan sakit hati kalau orang Indonesia dibilang tidak suka atau malas membaca.
Kedua, Rendahnya daya beli masyarakat. Daya beli di sini berkaitan dengan kemampuan masyarakat untuk membeli sesuatu. Dalam kasus ini, yang saya maksud adalah membeli bahan bacaan, bisa berupa koran, tabloid, atau buku. Buku sendiri masih dianggap masyarakat kita sebagai kebutuhan sekunder yang tidak diharuskan untuk dipenuhi secara mendasar. Selain itu, harga-harga buku yang dijual di pasaran saat ini masih tergolong cukup mahal.
Tetapi, meski perlahan, industri perbukuan d Indonesia memang sudah meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Event-event pameran buku, perpustakaan gratis, mobil pintar, taman bacaan, dan hibah buku, menjadi sebuah angin segar untuk menyeimbangkan kebutuhan masyarakat akan buku yang harganya diaggap masih melambung tinggi. Meski pada kenyataannya, reading index dan angka buta huruf penduduk Indonesia masih saja pada tingkat yang mengenaskan!
Dua alasan itulah, yang konon menjadi penyebab tidak sukanya penduduk Indonesia terhadap aktivitas membaca. Tetapi, sejujurnya, ada sentilan penasaran yang menelisik jiwa saya ketika membahas masalah ini. Benar, bahwa dari banyak survei, reading index negara Indonesia kita ini memang masih sangat rendah. Namun benarkah rakyat kita benar-benar tidak suka membaca??? Kata rendah dan tidak suka, tentu maknanya jauh berbeda.  Rendah maksudnya bisa saja masih ada, hanya kadarnya sedikit. Sedangkan tidak suka mengandung arti sama sekali tidak ada alias membenci.
Dalam artian, jika kita mengadakan survei ulang secara kualitatif dan kuantitatif, serta menanyakan secara personal kepada satu per satu penduduk Indonesia, bisa jadi hasilnya akan lain dibanding survai yang konon dilakukan oleh UNESCO. 
Mungkin saja akan ada jawaban “per-tapi-an” yang beragam. Misalnya : “Saya tidak suka membaca, tapi saya selalu suka kalau ada informasi baru yang saya dapat lewat media cetak”, “Saya sebetulnya ingin bisa membaca, tapi saya masih buta huruf”, “Saya ingin membaca dan menjadi pintar, tapi biaya untuk membeli buku-buku itu sangat mahal”, “Saya sebetulnya ingin bisa membaca dengan bebas, tapi saya tidak punya waktu untuk itu”, dan pastinya banyak lagi alasan-alasan “per-tapi-an” lainnya.
Intinya, bisa saja dari hasil hitam di atas putih Indonesia ini memang memiliki minat baca yang lebih rendah dibanding negara lain. Namun, sejujurnya saya masih kurang percaya dengan hasil ini.
Bangsa kita adalah bangsa yang besar dan jaya. Di masa lalu saja, saat zaman kerajaan hindu-budha-dan Islam berkembang di tanah nusantara ini, ada banyak bacaan-bacaan yang dihasilkan, seperti Kitab Negarakertagama, Sutasoma, Arjunawiwaha, syair-syair Islami, dan banyak lainnya.
Ini membuktikan bahwa sebetulnya negeri kita yang sangat kita cintai ini memiliki hasrat, keinginan, ketertarikan, dan potensi yang besar terhadap dunia baca dan tulis. Meski hasil akhir dan output yang dihasilkan kenyataannya masih jauh dari harapan. Itu persoalan sistem, technical error, dan human error yang bermain. Yang sebetulnya terjadi adalah, bahwa hasrat, minat, dan keinginan untuk mencari tahu, belajar, membaca, dan haus informasi, bahkan keterampilan menulis, sejujurnya masih tersemai dalam lubuk hati kita, para penduduk Indonesia ini.  
Meski hasrat itu masih terpendam, meski minat itu masih rendah, meski rasa ingin tahu itu masih kalah oleh rasa malu-malu, dan meski bakat-bakat besar itu masih tersembunyi, paling tidak, minat itu, hasrat itu, dan keingintahuan itu masih ada. MASIH ADA!
Mungkin anda akan menertawai keyakinan saya akan hal ini. Mungkin anda akan mencibir pendapat saya tentang masih adanya minat baca yang dimililiki bangsa ini, padahal jelas-jelas banyak surveilans menyatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia tidak doyan buku dan tidak suka membaca. Kalaupun minat baca itu ada, toh nilainya juga rendah.
Mungkin anda akan bertanya heran, kenapa saya bisa sebegitu percaya diri bahwa rakyat bangsa ini suka membaca dan ingin membaca! Pasti anda akan mengerutkan alis tatkala saya dengan lantang meneriakkan “Siapa Bilang Orang Indonesia Tidak Suka Membaca?? Itu hal yang keliru!!!. Orang Indonesia sangat cinta membaca dan ingin menjadi seorang pembaca!”. Kalau anda tak sependapat dengan saya, anda boleh saja melengosi saya, meremehkan isi pikiran saya, dan meng-underestimate pendapat saya. Tapi, saya punya bukti kenapa saya berani dengan lantang menyuarakan bahwa orang Indonesia suka dan cinta membaca!





Foto di atas adalah foto yang saya ambil pada tanggal 2-4 November 2010 di depan Gedung Monumen Pers Solo

Setiap kali saya melewati bundaran Monumen Pers untuk berangkat kuliah, mata saya tak pernah berhenti terpana untuk menangkap fenomena unik ini. Selama sekian waktu, saya hanya bisa berdecak kagum melihat pemandangan itu. Saya pun melakukan survei dan pengamatan selama tiga hari berturut-turut. Yaitu dari tanggal 2-4 November 2010 di jam yang berbeda. Dan yang membuat saya semakin yakin bahwa orang Indonesia sangat cinta, butuh, dan gila membaca adalah tidak pernah sepinya papan koran gratis yang dipampang di depan Gedung Monumen Pers ini. Papan tersebut selalu ramai oleh orang-orang dari berbagai kalangan, mulai dari pegawai kantoran, tukang becak, pengendara sepeda motor, pegawai negeri, mahasiswa, dan banyak lainnya. Tujuan mereka hanya satu, yaitu membaca! Menelan informasi apapun yang disuguhkan di sana. Mereka rela meluangkan waktu, memberhentikan kendaraan sejenak, berdiri beberapa menit, untuk sekedar membaca. GRATIS. Karena mereka berhak, butuh dan juga cinta akan membaca.
Setelah melihat foto-foto tersebut, masihkah anda berpendapat bahwa orang Indonesia tidak suka membaca????
Kalau anda masih berkutat bahwa orang Indonesia tidak suka membaca, saya hanya ingin bertanya pada anda.  
“Anda orang Indonesia kan?”
“Dan saat ini anda tengah membaca tulisan saya kan??”
Kalau iya.
Masihkah anda bilang bahwa anda
(yang mengaku orang Indonesia) benci membaca???        ^_^ 

Aku dan Menulis


Bismillaahirrohmaanirrohiim
            Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan untuk mengikuti serangkaian acara yang sangat menarik. Pelatpulpen namanya. Sebuah acara rutin yang diselenggarakan oleh salah satu komunitas penulis yang cukup eksis di Kota Soloraya. Sebutlah Forum Lingkar Pena. Selama dua hari berturut-turut saya mendapatkan aneka materi tentang menulis dan bertemu langsung dengan beberapa pembicara yang bisa dibilang expert di bidang ini. Dan saya bersyukur bisa mengikuti acara pelatpulpen kemarin, karena ilmu soal menulis banyak saya dapatkan di sana.

[kebosanan akan membaca]
            Kalau mau tahu korelasi antara saya dengan menulis, rasanya jadi malu sendiri. Sebab saya memang bukan orang yang terlahir dan berkecimpung dalam dunia kepenulisan. Sastra apalagi. Jujur saja, saya tidak suka sastra. Saya tidak suka puisi. Saya malas kalau membaca cerpen. Dan suka bosan kalau disuruh membaca novel. Yang namanya membaca koran saja, saya cenderung suka memilih-milih berita. Kalau menarik saya baca, kalau tidak menarik ya tidak saya baca.
Berdasarkan sebuah penelitian, ada suatu kecenderungan untuk anak-anak yang bisa membaca sejak usia balita (bawah lima tahun) ketika dewasanya akan menjadi malas membaca. Berlaku juga sebaliknya. Ketika ada anak yang baru bisa membaca saat masuk SD, dan itu termasuk terlambat, ketika dewasa nanti malah menjadi manusia-manusia yang gila membaca. Penelitian ini ingin berkata bahwa ada sebuah kebosanan akan membaca seiring berjalannya waktu dan sejalan bertambahnya umur. Otak manusia, meski sehebat apapun, nyatanya juga memiliki kapasitas dan sensitivitas kebosanan terhadap sebuah rutinitas yang sering dikerjakan berulang-ulang dan dilakukan sejak awal perkembangannya.

[hingar bingar dunia kepenulisanku]
Saya sendiri, dulunya bisa membaca sebelum usia empat tahun. Belum masuk TK sudah bisa membaca. Masih terekam dalam memori saya saat kecil dulu, saya sudah mengoleksi puluhan komik doraemon, donal bebek, dan paman gober. Bahkan  juga berlangganan majalah Bobo, Aku Anak Sholeh, dan Ino. Waktu kecil saya keranjingan membaca. Kebiasaan itu terus berlanjut tatkala saya memasuki fase sekolah dasar. Menjelang SMP, kebiasaan itu masih terus saya lakoni. Bahkan saya masih ingat betul. Ketika kelas satu SMP, saya membuat sebuah cerita pendek tentang “manusia serigala” di berlembar-lembar folio, juga cerita lain bertajuk “Petualangan di Negeri Fantasi”. Cerita itu saya tulis tangan dengan bolpen dan saya minta beberapa teman sekelas untuk membacanya. Meski saat itu banyak komentar saya terima (maklum saja, saat itu tengah heboh-hebohnya Novel Harry Potter, sehingga cerpen picisan saya itu tentu tak sejajar jika dibandingkan dengan karya J.K. Rowling yang ternama itu), tetapi banyak juga yang antusias dan menunggu karya tulis saya selanjutnya. Saat itu, sungguh membahagiakan! Setidaknya saya sudah jadi penulis, walaupun masih dalam kisaran kecil, antarteman.
Memasuki SMA, saya masih suka menulis. Bahkan saya sudah membuat sebuah novel detektif yang waktu itu nyaris rampung! Hanya, sebuah kejadian menyebalkan terjadi. Komputer rumah kami terkena virus dan harus diinstal ulang. Akibatnya semua tulisan saya hilang! Padahal novel detektif bertajuk “Enam detektif cilik dan Teratai Emas “ itu sudah memasuki tahap akhir dan saya begitu habis-habisan dan all out mengerjakannya. Jujur saja, waktu itu saya sangat sedih dan menangis meratapi nasib. Tapi, sudahlah! yang terjadi biarlah itu terjadi. Hehe.
Keinginan menulis saya tak terhenti di situ, Sebuah novel berjudul “Carilah Cinta” menjadi proyek saya selanjutnya. Saat ini tengah sampai di halaman ke-64 (sejak SMA sampai sekarang novel itu masih teronggok begitu saja di komputer, belum sempat saya selesaikan, entah bagaimana nanti endingnya). Novel ini bercerita tentang kisah cinta anak SMA yang akhirnya menyadari bahwa cinta sejati adalah cinya pada Robb-Nya, bukan lewat pacaran dengan lain jenis seperti yang kala saya SMA, hal itu marak terjadi. Celupan anak ROHIS masih menjadi tema unik yang melatar belakangi saya menulis novel kisah ini.
            Saya sendiri juga heran. Tiap kali pelajaran Bahasa Indonesia di mana kami disuruh untuk membuat puisi, saya selalu tidak bisa. Saya selalu sukar untuk membuat bahasa yang putitis dan berdiksi manis. Saya lebih suka menulis kalimat yang lugas, detail, lengkap, dan jelas maknanya seperti cerpen, novel, atau artikel. Makanya saya lebih suka membuat ketiga tulisan itu dibanding menulis puisi, apalagi puisi romantis. Iiih,, nggak banget deh! >.<” 



[let me learn this world, ya Alloh]

            Oke, dunia tulis menulis itu masih saya coba tekuni sampai sekarang –meski saya sudah cenderung malas membaca, seperti pada penelitian itu, saya mulai bosan membaca !!!-.  Saya benar-benar autodidak menjalani dunia tulis-menulis. Hanya berbekal kemampuan saya dalam merangkai kata dan menularkan imajinasi yang bergumpal dalam benak saya. Dan jangan dibayangkan jika tulisan saya sudah seperti Mbak Afra, Mbak Asma Nadia, Mbak Helvi Tiana Rosa, Mbak Deasylawati, Pak Aries Adenata atau penulis-penulis lainnya. Masih sangat jaauuuuuuuuuuhhh sekali. Tapi, setidaknya saya mau belajar dan akan terus belajar!!! Makanya sekarang kebiasaan membaca itu kembali saya galakkan lagi. Soalnya menulis dan membaca ternyata seperti dua sisi mata uang. Tidak bisa dipisahkan!
            Untuk masa kuliah ini, gelora menulis itu sempat padam di tahun-tahun awal. Biasalah, sibuk! Itu alasan klise yang sering didengungkan oleh mahasiswa yang tak lagi mengerjakan rutinitasnya. Termasuk saya. Hehehe. Tapi, setelah ikut seminar kepenulisan, workshop menulis, dan bergabung di Forum Lingkar Pena Soloraya, semangat itu kembali bangkit dan menggelegak. Termasuk saat menulis artikel ini, hehe. Intinya, saya ingin terus belajar, berkarya, dan berbuat lewat media menulis ini. Dan tentunya, pesan dari para senior itu akan selalu saya camkan dalam hati. Bahwa menulis itu keringat kegigihan dan kerja sunyi. Menulis itu adalah media ibadah kita. Media jihad kita. Media beramal kita. Dan menulislah dengan ikhlas, hanya untuk mengharap ridho Alloh Azza wa Jalla. Jadi, ayo semangat nulis!!!